Oleh Raymond Ibrahim


Jihad Watch


18 Januar
i 2012

Apakah pernah ada suatu masa dimana suatu kelompok orang secara terbuka menunjukkan permusuhannya terhadap kelompok lainnya – namun demikian kelompok yang dizolimi tersebut tidak hanya mengabaikan, tetapi mengungkapkan hal-hal yang baik dan melegitimasi kelompok yang menzoliminya itu? 

Selamat datang di abad 21, dimana para politisi Barat memperkuat orang-orang Muslim yang secara berkesinambungan dan terbuka mengutuk semua non Muslim sebagai musuh yang harus diperangi dan ditundukkan.              

Simaklah  video mengenai Sheikh Yassir al-Burhami ini, seorang tokoh penting dalam gerakan Salafi Mesir yang telah memenangkan 25% suara dalam pemilihan umum belum lama ini. Ia memperjelas bahwa, dalam era yang berbeda, harus benar-benar diperhatikan: semua gagasan mengenai damai dengan non Muslim hanya berdasarkan keadaan. Ketika orang Muslim lemah, mereka harus cinta damai; ketika mereka kuat, orang Muslim harus bersikap ofensif/menyerang.

Saat mendiskusikan “Analogi antara Orang Kristen Mesir dan Orang Yahudi Medinah”, Burhami mengemukakan bahwa orang Muslim boleh mengadakan perdamaian sementara dengan orang kafir, jika keadaan memang mengharuskan untuk itu:  

Orang-orang Yahudi Medinah merepresentasikan sebuah paradigma – yang diberikan oleh nabi [Muhammad] – yang menunjukkan bagaimana seharusnya orang Muslim memperlakukan orang kafir. Metode-metode nabi mengenai hal yang harus diteladani orang Muslim bergantung kepada situasi dan kemampuan mereka. Di Mekkah, nabi berurusan dengan orang kafir dengan cara tertentu, jadi apabila orang Muslim rentan menghadapi “bahaya” maka merekapun harus memperlakukan orang kafir dengan cara yang sama [seperti yang dilakukan nabi].

Burhami mengacu kepada pemecahan Mekkah/Medinah yang terkenal: ketika Muhammad lemah dan hanya mempunyai sedikit pengikut pada awal periode Mekkah, ia mengkhotbahkan damai dan membuat perjanjian dengan orang kafir; ketika ia menjadi kuat dalam periode Medinah, ia mengkhotbahkan perang dan bersikap ofensif. Dikotomi ini – mengkhotbahkan damai ketika lemah, mengobarkan perang ketika kuat – adalah perintah bagi orang Muslim selama berabad-abad.  

Setelah mengutip Sura 4:77, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Burhami melanjutkan: 

Di banyak negara kafir, seperti pendudukan Palestina, kami memerintahkan orang Muslim untuk berlaku tepat demikian [sesuai dengan Sura 4:77]. Dewasa ini di Gaza, kami tidak memerintahkan orang Muslim untuk meluncurkan roket setiap hari karena hal itu akan menghancurkan negara itu, tetapi [kami] mengatakan kepada mereka untuk “menahan diri agar tidak berperang dan menghormati gencatan senjata”. Ketika nabi pertama kali tiba di Medinah, ia membuat kesepakatan dengan orang Yahudi, kesepakatan tanpa jizya [yaitu kesepakatan setara tanpa memaksa orang Yahudi untuk membayar pajak/upeti dan hidup sebagai warga negara kelas dua atau kaum dhimmi] - ini adalah pola yang dapat diikuti apabila keadaan mengharuskan demikian. Namun demikian, ketika mereka membatalkan kesepakatan, ia memerangi mereka dan akhirnya memberlakukan jizya terhadap Para Ahli Kitab [orang Yahudi dan Kristen]. Sura 9:29 pun tidak dibatalkan; melainkan diakui dan disetujui.

Disini Burhami banyak memberikan ulasan, dimulai dengan ayat Quran yang dikutipnya: ketika lemah, orang Muslim harus “menahan diri dari berperang” – tetapi “bayarlah zakatmu”, yang sesungguhnya adalah dana untuk berjihad (lihat: funds the jihad). Juga, sebagaimana Muhammad membuat kesepakatan damai dengan orang Yahudi Medinah, tanpa mewajibkan mereka untuk membayar jizya (pajak yang harus dibayarkan “ketika telah ditundukkan”), demikian pula orang-orang Palestina diijinkan untuk membuat perdamaian sementara dengan Israel. Dalam kedua kasus tersebut, keadaan – yaitu kelemahan orang Muslim – membenarkan sikap seperti itu. Tetapi, jika keadaan telah memungkinkan, Sura 9:29 – untuk memberlakukan jizya dan penundukkan - seperti yang dikutip Burhami, maka terjadilah pembatalan ayat-ayat damai. Lihat: abrogated   

Konklusi Burhami: 

Ya, kita dapat berurusan dengan orang-orang Kristen [Koptik Mesir] sama seperti kita memperlakukan orang-orang Yahudi di Medinah; itu adalah sebuah opsi. Nabi membuat Rekonsiliasi Hudaybiya dengan orang kafir dan melakukan gencatan senjata selama 10 tahun; itu pun adalah sebuah opsi ... Jadi, adalah sah untuk mengikuti teladan-teladan yang telah ditetapkan nabi, bergantung pada apa yang sesuai dengan situasi yang dihdapi orang Muslim sekarang.

Secara singkat, orang Muslim dapat bersikap toleran terhadap orang Koptik Mesir sekarang, dan tidak menagih jizya dan menempatkan mereka sebagai kaum dhimmi, hingga orang Muslim menjadi lebih kuat – sama seperti orang Palestina diperbolehkan untuk berdamai dengan Israel sekarang, hingga mereka dapat bersikap ofensif dan mengobarkan perang. Sesungguhnya, Dr. Mohamed Saad  Katatni— Sekretaris Jendral dari Partai Kebebasan dan Keadilan kelompok Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) yang telah memenangkan 40% suara – dilaporkan telah mengatakan bahwa orang Koptik tidak perlu membayar jizya sekarang, yang berarti bahwa gagasan menarik pajak dari orang Koptik yang telah menjadi kaum dhimmi yang ditundukkan bukanlah hal yang baru di kalangan Persaudaraan Muslim, melainkan hanya menantikan untuk dilaksanakan pada waktu yang tepat. 

Orang boleh berpendapat bahwa Sheikh Yassir al-Burhami – hanyalah “seseorang”, satu orang yang “radikal” – dan tidak merepresentasikan “Islam yang sejati”. Bagaimanapun, permasalahannya adalah semua argumennya itu telah diutarakan oleh banyak orang Muslim berulangkali, termasuk orang-orang yang berotoritas di sepanjang abad. Bahkan almarhum Yasser Arafat menyebut Hudaybiya sebagai “damai” sementara dengan Israel.    

Namun di balik semua itu – walaupun faktanya video ini adalah [seumpama] setetes air dalam seember ‘air’ bukti – disini, di Barat, semakin mulus jalan bagi orang-orang seperti Burhami untuk berkuasa dalam nama “demokrasi”, tanpa mempedulikan kesepakatan-kesepakatan, senyum, dan jabat tangan sambil minum secangkir kopi; yang sesungguhnya hanya eksis ketika orang-orang Muslim masih dalam keadaan lemah.

 

Sumber: Raymondibrahim.com