Firman Allah
Kesaksian Muhammad dan Pengesahan
Yahya
Roh dalam Al-Qur’an
Pengertian Kaum Sufi Tentang Dua Gelar Tersebut
Firman Allah adalah Kekal
Maksud Ayat ‘Kami Perkuat Dia
dengan Roh Suci’
Sifat Dasar Roh Suci
Kesimpulan
ISA AL MASIH DAN INTISARI
ALLAH
Apa Maksud ‘Anak Allah’?
Kiasan-kiasan Tentang ‘Anak
Allah’
Tunggul Sebatang Pohon
Dua Sifat Dasar Isa Al Masih
FIRMAN DARI ALLAH, ROH DARI ALLAH
‘Untuk
bagian manakah perwujudannya [Manusia yang Sempurna] itu disamakan? Sebagai
manusia, jin atau malaikat?’[1]
Pertanyaan-pertanyaan Tirmizi ini masuk
akal, karena Isa melintasi bagian-bagian yang berlainan dalam
perwujudannya. Di dalam Isa kita
temukan satu titik pertemuan antara manusia, dengan malaikat dan dengan Allah Yang
Maha Tinggi. Dia sesungguhnya adalah
seorang manusia, dan ada mufassirin yang melihatnya sebagai salah seorang dari
para malaikat, yang berkedudukan dekat di sisi Takhta Allah. Dia juga, menurut setengah mufasir yang
lain, memang menyatakan sifat-sifat pribadi Allah sendiri.
Persoalan Tirmizi sesungguhnya
membingungkan banyak orang. Dalam
bagian ini kita akan melihat ulasan-ulasan yang dibuat oleh para akhli kitab
dan karya tulis kaum Sufi (akhli Tasawuf) tentang Isa dalam usaha untuk
menjawab pertanyaan Tirmizi mengenai sifat dasar Isa Al Masih
Kita awali bab ini dengan melihat dua sebutan yang
diberikan kepada Isa dalam Al-Qur’an: ‘Firman Allah (Kalimat Cipta)’[2] ‘Firman dari Allah’[3] dan ‘Roh dari
Allah’[4]. Kemudian kita akan mengkaji pernyataan
ayat-ayat Al-Qur’an ‘perkuatkan dia
[Isa Al Masih] dengan Roh Suci’.
Firman Allah
Dalam Al-Qur’an, Isa Al Masih pernah dipanggil sebagai ‘Firman Allah’
(yang berarti ‘Kalimat-Nya’, kalimatuhu,
yang merujuk kepada Allah),[5] dan dua kali ‘Firman atau Kalimat-Cipta daripada Allah’ (kalimatun-minhu).[6]
Razi mengumpul tafsiran-tafsiran yang berlainan dari para akhli kitab Muslim
mengenai sebutan ini:
1. Isa
disebut sebagai Firman Allah dalam pengertian bahwa ia dicipta dengan kalimat
Allah – yakni, dengan kata ‘jadilah!’ (Kon)
– tanpa adanya seorang ayah.[7]
2. Isa disebut sebagai Firman Allah karena ia
bercakap-cakap di masa kanak-kanaknya, dan Allah telah memberikannya Kitab
tersebut di masa ia masih kanak-kanak...justru ia dipanggil ‘firman’ karena,
sebagai seorang pengucap, ia mencapai puncaknya, maka dalam pengertian tersebut
ia disebut sebagai satu firman/kalimat.[8]
3. Isa
disebut sebagai Firman Allah karena, sama seperti firman itu yang membuka
rahasia-rahasia dan kebenaran, Isa juga menuntun manusia kepada
kebenaran-kebenaran dan Rahasia-rahasia Ilahi.[9]
4. Isa
disebut sebagai Firman Allah karena ia memenuhi nubuat-nubuat para nabi
mengenainya; sama seperti yang dinyatakan oleh Al-Qur’an, ‘dan firman Tuhan Mu akan dipenuhi’.[10]
5. Isa
disebut sebagai Firman Allah karena, sama seperti manusia bisa dipanggil
sebagai ‘kebaikan Allah’ dan ‘kemurahan Allah’, begitu juga Isa telah diberi
nama yang selayaknya sebagai firman Allah dan roh Allah.[11] Razi juga
mengatakan, sama seperti seorang manusia yang benar-benar pemurah bisa
dipanggil ‘dermawan’ sebagai satu yang dilebihkan, maka begitu juga Isa dinamakanl sebagai “Firman Allah’ dalam
pengertian tersebut.[12]
6. Isa
disebut sebagai Firman Allah karena ia adalah manifestasi Firman Allah yang
Maha Tinggi dengan banyak mujizat-mujizatnya yang sempurna dan mutlak.[13]
Mari kita memeriksa dan mengkaji setiap
penjelasan di atas dengan lebih dalam lagi.
Alasan pertama yang diberi ialah bahwa
Isa dipanggil sebagai Firman Allah karena Allah menciptanya dengan kalimat
‘jadilah!’ (kon). Razi menyatakan:
karena dia [Isa] dilahirkan tanpa adanya
perantaraan seorang ayah, pengaruh firman Tuhan adalah lebih nyata dan sempurna
dalam menciptanya. Sebab itu ia dipanggil sebagai satu Kalimat dari
Allah.[14]
Jelaslah pengaruh kalimat ‘jadilah!’ itu
adalah lebih nyata dan sempurna dalam penciptaan Adam, karena Adam diciptakan
bukan saja tanpa seorang ayah, tapi juga tanpa seorang ibu. Dia adalah manusia yang pertama diciptakan
dengan kalimat ‘jadilah!’ dan merupakan satu penjabaran yang sempurna kekuasaan
penciptaan kata itu. Mengikut alasan
yang diberi oleh Razi, sebutan Firman Allah itu seharusnya lebik cocok untuk
Adam daripada Isa. Tapi Isa dan
bukannya Adam yang dipanggil sebagai Firman Allah.
Lagi pula, segala sesuatu dijadikan
Allah dengan kalimat ‘jadilah!’ itu.
Adam, Hawa dan kita semua, serta dengan hewan dan tumbuhan – semua yang
ada di muka bumi ini dijadikan oleh Allah dengan kalimat ‘jadilah!’ itu. Jika ini adalah benar, mengapa Isa saja yang
dipanggil sebagai Firman Allah? Atas
alasan yang diberikan oleh Razi, segala sesuatu sepatutnya dipanggil sebagai
Firman Allah, tapi bukan semuanya; hanya Isa saja yang dipanggil sebagai Firman
Allah.
Justru seruan terhadap ‘penciptaan’ Isa
dengan kalimat ‘jadilah!’ dalam upaya menerangkan mengapa Ia dipanggil sebagai
Firman Allah adalah tidak sah.
Semua alasan-alasan lain yang diberikan
mengapa Isa layak menerima gelar itu mempunyai satu sifat yang sama: Dia
dipersembahkan sebagai satu manifestasi sempurna yakni beberapa kualitas yang
membedakan dia dari yang lain. Dia
sangat tinggi dari sesiapapun yang memiliki aspek-aspek kualitas ini untuk
dibandingkan. Oleh karena itu dialah yang dipilih oleh Allah untuk dinamakan
sebagai Firman Allah.
Demikianlah, saat semua nabi-nabi
menyampaikan firman Allah kepada manusia, hanya Isa saja yang menunjukkan
kualitas ini dalam cara yang sempurna, jadi dialah yang layak dipanggil sebagai
Firman Allah. Atau, sementara Allah memberi yang lainnya hak istimewa untuk
memimpin manusia ke jalan yang benar dan membuka beberapa rahasia-rahasia
Ilahi, petunjuk dan pedoman Isa kepada kebenaran dan membuka semua rahasia
Ilahi adalah lebih sempurna dan lengkap, maka dia terpilih untuk dipanggil
sebagai Firman Allah. Dia adalah pembuka pikiran atas kebenaran Allah, dan
pembuka rahasia atau wahyu yang sempurna tanpa membiarkan adanya penambahan
atau pengurangan. Apabila yang sempurna itu telah datang, tidak ada tempat bagi
sesuatu yang tidak utuh.
Tafsiran yang keempat memperkenalkan
satu penjelasan yang begitu unik mengapa Isa menerima gelar tersebut. Sama seperti yang dinyatakan oleh Al-Qur’an: ‘ dan firman Tuhan-mu akan
dipenuhi,’[15]
jadi Isa dipanggil sebagai Firman Allah karena firman Allah tentang Isa, yang
disampaikan lewat nabi-nabi yang terawal, kini menjadi satu kenyataan atau
dipenuhi. Di sini sekali lagi, dialah
yang dipilih untuk menerima gelar tersebut.
Ada banyak bukti-bukti nubuatan tentang dia dan dia seorang diri yang
layak menerima gelar Firman Allah.
Namun dalam semua penjelasan-penjelasan
yang dikumpulkan oleh Razi, ada dua pra-tanggapan atau perkiraan yang salah.
Pertama, ialah Isa diberi gelar Firman
Allah itu setelah Isa
memanifestasikan beberapa kualitas yang unik.
Dengan kata yang lain, dia diberi gelar itu karena dia menunjukkan kualitas tersebut (contohnya, setelah
memanifestasikan percakapan yang sempurna, dia kemudian disebut sebagai Firman
Allah). Walau bagaimanapun, pra-tanggapan
bahwa Isa dipanggil sebagai Firman Allah bahkan sebelum kelahirannya lagi selalu sulit dipersepsi orang sehingga
ada kesan seperti orang berjalan dalam lumpur untuk diyakini! Dia dipanggil
sebagai Firman Allah sebelum dia mengerjakan mujizat, sebelum memenuhi
nubuatan, dan sebelum membukakan kebenaran kepada manusia.
Pra-tanggapan yang kedua ialah
pertimbangan Allah seolah-olah seperti pemikiran manusia, sehingga ke tahap
yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (lihat penjelasan yang ke-5 di
atas). Adalah benar bahwa manusia bisa memanggil seseorang itu sebagai
‘kebaikan dari Tuhan’ atau ‘keadilan dari Allah’, tapi Allah sendiri tidak
pernah memanggil manusia dengan sebutan seperti itu. Al-Qur’an menggambarkan
kata-kata Allah itu sebagai: ‘Telah cukup sempurna firman Tuhanmu yang penuh
berisi kebenaran dan keadilan. Tidak
ada seorangpun yang dapat merubah
firman-firman-Nya itu. Dia Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui.’[16]
dan ‘...Sedang yang disebutkan Allah adalah yang sebenarnya, dan Dia
menunjukkan jalan yang benar’.[17]
Allah bersungguh-sungguh akan apa yang dikatakan oleh-Nya, dan apa yang
dikatakan-Nya adalah benar: tidak ada yang dibesar-besarkan, tidak ada hal atau
keterangan yang dianggap rendah; tapi hanyalah yang sempurna dan tepat.
Perlu kita perhatikan bahwa tidak ada
manusia yang pernah memanggil orang lain sebagai Firman Allah sebagai satu
sebutan atau nama yang pantas, sebelum atau setelah kedatangan Isa.
Di samping itu, semua pendapat yang
dikumpulkan oleh Razi tidak mempertimbangkan sebutan yang hampir sama yaitu
‘Firman dari Allah’. Apabila kita merenungkan dan
mempertimbangkannya, kita akan dapat merasakan aliran pikiran
penjelasan-penjelasan akhli-akhli kitab tersebut menuju ke satu kesimpulan yang
berbeda. Ia tidak bisa dipanggil
sebagai satu Firman/ Kalimat dari
Allah karena dia diciptakan dengan kalimat ‘jadilah!’. Gelar ‘Firman dari Allah’ menunjukkan bahwa Isa sama seperti kalimat ‘jadilah!’ yang Allah sabdakan, dan bukannya hasil dari kalimat ‘jadilah!’ itu. Dengan cara yang sama, dia tidak bisa
dipanggil sebagai satu ‘Firman/Kalimat dari Allah’ karena dia memenuhi semua
perkataan-perkataan yang disebutkan oleh para nabi tentang dia, karena dia
adalah lebih menyerupai firman dari Allah kepada para nabi daripada penggenapan
segala nubuatan tersebut.
Maka kedua ungkapan: “Firman Allah’ dan
‘Firman dari Allah’ memberi pengertian masing-masing, dan semua penafsiran yang
dikumpulkan oleh Razi tidak menolak pengertian yang cermat.
Roh Dari Allah
Sebutan ‘Roh dari-Nya’ digunakan untuk Isa dalam ayat Al-Qur’an berikut:
Hai Ahli Kitab, janganlah kamu keterlaluan
dalam menanggapi agamamu. Dan janganlah
kamu mengatakan mengenai i’tikad terhadap Allah kecuali dengan dalil-dalil yang
benar. Sesungguhnya Al Masih putera
Maryam itu adalah Rasul Allah, dan terjadinya dengan Kalimat Cipta yang
disampaikan dengan perantaraan Roh sesuai dengan perintah-Nya.[18]
Sekali lagi, Razi mengutip
pendapat-pendapat para akhli kitab mengenai ungkapan tersebut:
1.
Adalah menjadi adat kebiasaan manusia jika mereka coba menerangkan
sesuatu yang benar-benar suci dan bersih maka mereka sebut ia sebagai roh. Justru karena Isa bukan dibentuk dari sperma
manusia tapi dengan hembusan Jibril, maka selayaknya dia [Isa] disebut sebagai
‘roh’. Dan ungkapan tentang ‘dengan
perintah-Nya’ itu adalah satu indikasi kemuliaan dan keagungan[19]
2. Dia
[Isa] adalah pemberi kehidupan kepada manusia dalam agama mereka, dan siapapun
yang seperti itu disebut sebagai roh.
Karena sesungguhnya Allah menyatakan dalam Al-Qur’an, ‘dan terjadinya dengan Kalimat Cipta yang disampaikan
dengan perantaraan Roh sesuai dengan perintah-Nya’.[20]
3. Roh
dari-Nya berarti belas kasih (rahim)
dari-Nya.[21]
4.
Suatu roh dari roh-roh yang mulia, tinggi dan suci.[22]
5. Roh
Suci yang disebutkan dalam Al-Qur’an
2:87 adalah roh yang dihembuskan ke dalam Isa, dan apa yang dikatakan ‘Suci’
itu ialah Allah Yang Maha Tinggi. Maka,
Dia [Allah] menghubungkan roh Isa kepada-Nya untuk memuliakan dan meninggikan
Isa,sama seperti ada yang mengatakan: rumah Allah, dan unta Allah.[23]
Penafsiran-penafsiran ini adalah serupa
dengan apa yang dijelaskan untuk gelar Firman Allah. Marilah kita melihat penjelasan ini secara ringkas:
Pertama, Adamlah yang diciptakan dengan
hembusan secara langsung dari Roh Allah, bukannya Isa. Mengenai penciptaan Adam, Al-Qur’an menyatakan: ‘Lalu
disempurnakan-Nya kejadian-Nya, dan ditiupkan-Nya roh ciptaan-Nya kepada
tubuhnya, dan dilengkapi-Nya kamu dengan pendengaran, penglihatan dan
pemikiran.’[24]
Adam merupakan manifestasi yang pertama kekuasaan Allah yang memberi
kehidupan. Menurut penafsiran dari
penjelasan pertama di atas, sebutan itu lebih cocok untuk Adam daripada Isa.
Di samping itu, ungkapan sebutan ‘Roh dari Allah’ itu membuat Isa seperti roh
yang ditiupkan sebelum dia dikandung,
bukan hasil dari peniupan Roh
tersebut.
Penjelasan kedua seakan menyamakan Isa
dengan Al-Qur’an, yang mengatakan
keduanya dipanggil sebagai Roh. Walau
bagaimanapun, ada perbedaan di atara keduanya, di mana Isa dipanggil sebagai
‘Roh dari Allah’ sedangkan Al-Qur’an
dipanggil ‘Roh dari perintah Kami [yakni perintah Allah]’. Kedua ungkapan tersebut hampir sama, tapi kesamaan itu haruslah sejajar jika penjelasan itu
mesti dipertahankan.
Penjelasan ketiga memperlihatkan
sebutan Roh dari Allah itu berarti ‘belas kasih dari Allah’. Belas kasih Allah bermuara dalam Allah,
justru sebutan ‘Roh dari Allah’ juga mengarah ke sumber yang sama sekiranya
kita mau tetap konsisten. Jadi
seharusnya dikatakan bahwa sama seperti belas kasih dari Allah datang langsung
dari Allah, Isa adalah juga datang langsung dari Allah. Penjelasan ini sebagai upaya menghindari
kata Roh tersebut, tapi Al-Qur’an
menyatakan Roh dari Allah dan bukannya belas kasih dari Allah.
Penafsiran selanjutnya menyatakan bahwa
sebutan Roh tersebut bermakna ‘suatu roh dari roh-roh yang mulia, tinggi dan
suci’. Tapi sebutan itu secara polos
menyatakan Roh dari Allah, dan bukan
dari kalangan roh-roh yang tinggi dan mulia.
Akhirnya, Isa dikatakan sebagai Roh Allah dalam konteks yang sama
seperti ada yang memanggilnya ‘rumah Allah’ atau ‘unta Allah’. Tapi penafsiran ini tidak menjelaskan
derajat Roh dari Allah. Karena tidak ada seseorangpun yang pernah
mendengar ungkapan suatu rumah dari
Allah atau seekor unta dari
Allah. Ucapan-ucapan seperti unta Allah
dan gunung Allah adalah secara linguistiknya bisa diterima, tapi tidak ada
suatu rumah dari Allah atau seekor
unta dari Allah. Al-Qur’an
tidak mengatakan Roh Allah tapi Roh dari Allah.
Gelar ‘Roh dari Allah’ tergulung dengan
ucapan-ucapan seperti ‘wahyu dari Allah’, ‘belas kasih dari Allah’ dan ‘firman
dari Allah’. Semua ini bukanlah
permainan kata akan tetapi mengandung arti yang dipunyai secara sah atas satu
aras Ilahi. Ungkapan ‘belas kasih dari
Allah’ secara automatis mengandung makna sesuatu yang syurgawi, sedangkan ‘unta
Allah’ adalah sesuatu yang fana.
Menyamakan gelar ‘Roh dari Allah’ dengan ‘unta Allah’ akan hanya
tercapai atau disepakati bila kita mengabaikan norma-norma linguistik Bahasa
Arab.
Ada yang akan membantah kutipan ini
seperti yang dikemukakan ayat Al-Qur’an
45:13 ‘Dan ditaklukkan-Nya olehmu segala yang ada di langit dan di bumi, sebagai
rahmat daripadanya. Sesungguhnya hal
itu menjadi dalil-dalil tentang kekuasaan Tuhan bagi kaum akhli pikir’. Mereka akan memperdebatkan bahwa langit dan
bumi adalah dari Allah. Tapi ada salah
paham dalam ayat ini, karena apa yang datang dari Allah bukannya langit dan
bumi tapi apa yang dikandung oleh langit dan bumi, seperti yang dijelaskan oleh
Razi: ‘Apa yang terkandung dalam kedua-dua ini adalah datangnya dari Allah’.[25]
Kesaksian Muhammad dan Pengesahan Yahya
Adalah
penting untuk dibahas kiranya di sini bahwa gelar ‘Firman Allah’ bukanlah satu
nama diri tapi satu gelar yang menerangkan Isa dan misi-Nya. Ibn Ishaq mengutip satu surat yang
dikirimkan oleh Nabi Muhammad kepada Negus dari Abyssinia, di mana Rasullullah
berkata, “Saya bersaksi bahwa Isa anak Maryam, ialah roh Allah dan firman-Nya,
yang Dia turunkan kepada perawan Maryam.’[26]
Jika Razi benar dalam menyatakan
gelar-gelar Firman Allah dan Roh Allah adalah sama dalam menamakan manusia
untuk ‘kebaikan Allah’ dan sebagainya, maka gelar-gelar ini tidak akan muncul
dalam surat-surat Nabi Muhammad sebagai predikat dalam ayat tersebut. Yakni, Nabi Muhammad tidak akan menyebutkan
Isa ialah roh Allah dan
firman-Nya. Tapi kewujudan mereka
secara fakta sebagai predikat membuatkan mereka sebagai satu sudut iman dan
bukan hanya sekadar satu ungkapan dalam kata.
Inti kesaksian Muhammad tersebut ialah: Isa Al Masih adalah Roh Allah
dan Firman Allah. Bahkan, kata-kata
‘yang Dia turunkan kepada perawan Maryam’ membayangkan sebelum penjelmaan Isa sebagai
Roh dan Firman Allah.
Untuk mempercayai bahwa Isa adalah
Firman Allah dan suatu Roh dari Allah ialah satu prinsip ajaran iman yang
dasar, sama seperti mempercayai kenabian para nabi. Untuk benar-benar percaya terhadap Isa Al Masih tidak akan berhenti
pada titik dia adalah seorang nabi; tapi mengakui bahwa dia adalah lebih
daripada seorang nabi. Dia adalah
Firman Allah.
Ini juga dapat dilihat dari persujudan
Nabi Yahya kepada Isa ketika keduanya masih dalam kandungan ibu
masing-masing. Jika gelar Firman Allah
itu hanyalah satu metafor semata-mata dan bukannya satu keterangan sebenar Isa
dan misi-Nya, maka tidak ada arti dalam persujudan Yahya tersebut. Jika gelar itu hanyalah satu nama, maka ia
tidak perlu mendapat respon dari sebarang iman kepercayaan langsung.
Yahya tidak sujud karena Isa adalah
Anak Maryam, tapi karena dia adalah Firman Allah. Ibn ‘Abbas, salah seorang dari pengikut awal Nabi Muhammad,
mengirimkan/menyebar kepercayaan awal bahwa respon yang sepatutnya diberi
kepada Isa sebagai Firman Allah ialah bersujud di depan-Nya, dan Nabi Yahya
adalah orang yang pertama berbuat demikian dengan bersujud dan mengakui bahwa
Isa adalah Firman Allah: ‘Dia bersujud kepada Isa dalam kandungan ibunya adalah
sebagai satu ucapan iman kepercayaan kepada Isa.’[27]
Roh dalam Al-Qur’an
Gelar
‘Firman dari Allah’ dan ‘Roh dari Allah’ adalah sejajar dalam bentuk dan
maknanya, yang saling menjelaskan antara satu sama lain. Pemahaman kita untuk istilah
yang pertama akan lebih terfokus bila kita memperbincangkan lebih lanjut
istilah yang kedua.
Untuk memahami apa yang dimaksudkan
dengan Roh dari Allah, kita harus melihat bagaimana Al-Qur’an menggunakan kata ‘roh’.
Dalam bahasa biasa yang berkaitan
dengan manusia, kata roh berbeda sama sekali penggunaannya dari penggunaannya
di dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an,
kata tersebut merupakan satu ungkapan ‘tekhnis’ yang menyatakan secara esklusif
yang berkaitan dengan Allah.
Akhli-akhli kitab yang telah meminta bantuan dari bahasa yang umum
mencoba menjelaskan makna gelar ‘Roh dari Allah’ yang diberikan kepada Isa,
adalah sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
Perkataan roh atau jabarab dari
asal/akar katanya ada tersebut sebanyak dua puluh empat kali di dalam Al-Qur’an dan tidak ada satupun yang
menghubungkannya dengan manusia. Kata
yang digunakan untuk menggambarkan ‘kodrat manusia’ ialah ‘jiwa atau semangat’,
dan bukan ‘roh’.
Dr. Mustafa Mahmoud mengaris-bawahi
satu perbedaan yang nyata antara Roh dan jiwa dalam Al-Qur’an:
Menurut bahasa yanag biasa digunakan, kita
sering keliru antara jiwa/semangat dan roh.
Dan kita sering mengatakan
‘rohnya sudah pergi’, atau ‘rohnya benar-benar merindukan sesuatu’, atau
‘rohnya terasa begitu tersiksa sekali’....Semuanya ini adalah pengungkapan yang
kurang tepat dan hanya diperuntukkan jiwa/semangat dan bukannya roh. Karena apa yang meninggalkan dan pergi dari
tubuh adalah jiwa/semangat (Al-Qur’an
6:93), dan yang merasakan kematian itu adalah jiwa dan bukannya roh (Al-Qur’an 3:185)...Jiwa/nyawa wujud
sebelum kelahiran, dan selama hidup seseorang manusia, dan tetap hidup setelah
maut. Roh sebaliknya tidak bisa digoda
(Al-Qur’an 5:30, 50:16), tidak iri
hati atau bernafsu berahi (Al-Qur’an 91:7 & 8), tidak merasa bosan (Al-Qur’an 9:118) dan tidak akan disiksa
(Al-Qur’an 9:55)....Semua ini
tergolong dalam jiwa/semangat/nyawa dan bukannya roh.[28]
Jadi sementara bahasa biasa ‘bercampur
antara jiwa dan roh’, dan menggunakan kedua ini secara silih-ganti, Al-Qur’an tidak memperlakukan kedua kata
ini dalam keadaan yang serupa, tapi menggunakan kata ‘roh’ untuk Tuhan secara
esklusif. Dr. Mahmoud menyambung:
Roh, bagaimanapun, sering diungkapkan dalam Al-Qur’an dengan satu derajat kesucian,
kemuliaan dan keilahian yang begitu
tinggi. Roh tersebut tidak pernah
digambarkan sebagai sesuatu yang azab sengsara atau iri hati, atau berahi,
mengingini atau mendambakan, atau dipersucikan atau dinajisi, ataupun naik atau
turun atau merasa bosan. Tidak ada dinyatakan
dalam Al-Qur’an tentang roh
meninggalkan jasad atau menderita maut...Roh
tidak ada kaitannya dengan manusia, tapi selalu dinyatakan berhubungan
dengan Tuhan (Al-Qur’an 19:17).[29]
Mengenai penciptaan Adam Allah berfirman: ‘Apabila
Kami sudah membentuknya, dan meniupkan Roh Kami kepadanya... (Al-Qur’an 15:29)’. Allah mengatakan ‘Roh Kami’ dan bukannya
‘roh Adam’; yakni Roh itu adalah dari Allah.
Maka Tuhan kita selalu
menghubungkan Roh itu kepada-Nya.
Dan lagi: ‘..yang disampaikan kepada Maryam dengan perantaraan Roh
sesuai dengan perintah-Nya... (Al-Qur’an
4:171).’ Roh dalam ungkapan tadi
merujuk kepada Kalimat Ilahi dan perintah Ilahi Allah.
Jadi Roh adalah selalu berkaitan dengan Allah,
dan dalam gerakan secara tetapt dari Allah dan kepada Allah. Untuk maksud ini
Roh digambarkan sebagai suatu deskripsi yang tinggi, megah dan agung. Al-Qur’an
memanggil Malaikat Jibril sebagai “Roh Kesucian”...dan ‘Roh yang setia’. Tapi jiwa/semangat adalah sesuatu yang
berhubung dengan seseorang, yaitu pemilik jiwanya sendiri. ‘Keuntungan apapun yang kamu peroleh,
datangnya dari Allah, dan apapun bencana yang menimpamu adalah karena salahmu
sendiri [jiwa]’ (Al-Qur’an
4:79). Dan Dia mengatakan tentang Isa
‘yang disampaikan kepada Maryam dengan perantaraan Roh sesuai dengan
perintah-Nya... (Al-Qur’an 4:171).’[30]
Berbeda dengan jiwa, Roh tidak mempunyai tempat
di Firdaus atau Neraka, tapi Roh adalah nur cahaya dari cahaya Allah dan
berhubungan dengan Allah. Roh datang
dari Allah. Roh tidak bisa ditakluki oleh cobaan-cobaan atau penghakiman, atau
hukuman atau ganjaran, tapi Roh adalah sesuatu contoh tertinggi dalam ayat-ayat Al-Qur’an, ‘Dan Allah mempunyai sifat-sifat yang sangat
tinggi. Dia, Maha Kuasa dan Maha
Bijaksana’ (Al-Qur’an 16:60) dan
‘Kepunyaan Dialah Citra Tertinggi dan Terindah di seluruh langit serta bumi
ini. Dialah yang Maha Perkasa dan
Bijaksana’ (Al-Qur’an 30:27). Ini adalah dunia yang penuh dengan terang
yang didapati dari kesucian dan terang dari makhluk ‘dari’ Allah dan ‘dari’
perintah-Nya.[31]
Menurut Dr. Mahmoud, di dalam Al-Qur’an manusia dikatakan sebagai
mempunyai tubuh (jasad) dan jiwa (nyawa), tapi tidak sekalipun dikatakan
mempunyai roh. Hanya Allah saja yang
memiliki suatu Roh. Jadi untuk menggunakan
kata roh dalam menghubungkannya dengan manusia adalah sesuatu yang tidak
konsisten dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an. Kata roh ialah sesuatu yang esklusif yang
Ilahi, sama seperti kata ‘Pencipta’.
Setiap kali kata ini disebut, pikiran kita akan ditujukan ke atas. Kata roh selalunya disebut dengan begitu
‘Ilahi yang teramat sangat’ (tanzih),
yaitu, tanpa ada sembarang dugaan yang anthropomorfis (yakni Roh itu tidak bisa
dibandingi dengan apa-apa atau siapapun jua).
Ingatlah, bahwa Allah itu adalah
Pencipta, dan Isa hanya yang seorang yang dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai mencipta sesuatu dari tanah liat. Allah saja yang mempunyai Roh, dan
satu-satunya manusia yang dikatakan ada kaitan dengan Roh dari Allah ialah Isa
Al Masih. Dia tidak mempunyai suatu roh
dari Allah, tapi dia ialah suatu Roh dari Allah.
Jadi bila kita bertemu dengan kata Roh
dalam Al-Qur’an, kita dipaksa oleh
kebaikan bahasa Al-Qur’an itu sendiri untuk mengingat akan Allah. Sekiranya kita bertemu dengan kata tersebut
di dalam buku-buku yang ditulis dalam bahasa biasa, maka kita bebas untuk
memikirkan sama ada ia manusia atau Tuhan, menurut konteks ayat tersebut. Tapi bila gelar Roh dari Allah itu diberikan
kepada Isa Al Masih di dalam Al-Qur’an, maka satu-satunya
pengertian akan gelar itu ialah Isa kepunyaan Ilahi. Justru bila kita ikuti analisa Dr. Mahmoud, maka, kita akan
mempunyai satu makna saja yang tinggal mengenai gelar Roh dari Allah: yaitu
identias sebenarnya dan kodrat Isa Al Masih adalah suatu Roh yang dari Allah –
suatu Roh yang ‘tidak ada kaitannya dengan manusia, tapi yang senantiasa
dihubungkan dengan Allah’[32]
Semua saran arti ungkapan yang
dikumpulkan oleh Razi adalah tidak benar dalam penggunaan kata roh dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Semua mufasir hanya menumpukan pada apa yang
dilakukan oleh Isa, dan bukannya siapakah dia sebenarnya. Jika di dalam Al-Qur’an kata itu sering dikaitkan dengan Allah, seperti yang
telah dihuraikan oleh Dr. Mahmoud, maka kita seharusnya mengharapkan definisi
gelar ‘Roh dari Allah’ itu pada hakikatnya berkait erat dengan kepribadian Allah Yang
Maha Kuasa, dan bukan hanya sekadar manifestasi sifat-sifat Allah, atau
tergolong dalam kategori ‘tokoh secara lisan’.
Apa yang kita telah pelajari mengenai
gelar Roh dari Allah menerangkan juga gelar yang satu lagi, yaitu Firman Allah
(atau Firman dari Allah). Apa yang
terpakai untuk satu bisa terpakai untuk yang satunya lagi.
Kalau ‘Roh itu selalu berkait erat
dengan Allah’,[33]
begitu juga untuk kata Firman Allah. Maka justru itu, Isa Al Masih senantiasa
berhubung erat dengan Allah, karena dia adalah suatu ‘Roh dari Allah’ seperti
penyataan dari Al-Qur’an
sendiri. Dan jika Roh itu ‘senantiasa
berada dalam satu gerakan yang tetap dari Allah dan kepada Allah’,[34]
maka begitu juga dengan Firman Allah, yang diturunkan kepada Maryam dari Allah
dan diangkat untuk berada di sisi Allah.
Dan jika ‘Roh itu tidak mempunyai tempat di Firdaus atau Neraka, roh itu
adalah nur cahaya dari cahaya terang Allah, berhubungan erat dengan Allah, dan
yang ‘datang dari Allah’,[35]
begitu juga dengan Firman Allah. Isa
adalah nur cahaya dari cahaya terang Allah.
Dia berhubungan erat dengan Allah.
Dia adalah datang dari Allah.
Sama seperti bahasa dalam Al-Qur’an tidak ada seorangpun manusia
yang digambarkan sebagai mempunyai roh, maka para malaikat tidak diberi gelar
‘roh’. Pemahaman yang biasa yang
mengatakan Roh Suci ialah Jibril
hanyalah satu penafsiran oleh akhli-akhli kitab. Malaikat selalu dipanggil sebagai ‘malaikat’ (malak ataupun mala’ikah). Sekali lagi,
tidak ada seorangpun atau sesuatu apapun yang dikatakan sebagai mempunyai roh
kecuali Allah dan Isa Al Masih.
Jika, mengikuti bahasa Al-Qur’an sendiri, tiada malaikat-malaikat
atau manusia yang digambarkan mempunyai roh, tapi Allah dan Isa Al Masih digambarkan
sedemikian rupa, maka kodrat Isa bukanlah tergolong kepada kalangan manusia
atau malaikat, tapi kalangan Ilahi. Dia semestinya dimiliki dan tergolong kepada
Allah.
Pengertian Kaum Sufi Tentang Dua Gelar Tersebut
Pengertian
kita mengenai kedua-dua gelar tentang Firman dari Allah dan Roh dari Allah juga
didukung oleh kaum Sufi/Akhli Tasawuf.
Ibn ‘Arabi dalam bukunya Fusus al-Hikam menyatakan tentang Isa Al
Masih:
Suatu roh dari Allah, bukan dari tempat lain,
sebab itulah mengapa dia menghidupkan yang mati dan mencipta burung dari tanah
liat.[36]
Qashani,[37]ketika
mengulas ungkapan di atas, berkata:
Dia [Isa] ialah satu roh sempurna yang memanifestasikan Nama Allah. Allah-lah yang melakukan peniupan
[roh]...dan tidak ada sumber yang lain lagi.
Karena dia [Isa] datangnya dari satu Nama yang mengandung hakikat dan
bukan datang dari nama yang sekunder di mana didapati terlalu banyak perantara
antara Dia dan Allah, sama seperti memiliki roh-roh para nabi yang lain. Walaupun roh-roh mereka adalah datangnya
dari hadirat Nama Allah, namun mereka adalah hasil dari banyak perantara
penyinaran dari hadirat-hadirat Nama-nama Allah yang lain. Tapi
Isa datang dari yang tersembunyi, yang paling dalam (batin) Wahadat Tertinggi (Ahadiyah) dari kesimpulan akhir Kehadiran Ilahi dan
karena sebab itulah Allah memanggil-Nya [Isa] sebagai Roh-Nya dan
Firman-Nya.... Karena firman itu [Isa] datangnya dari batin Allah yang
paling dalam dan sifat dasar
tersembunyi-Nya [Isa] datang dari Allah dan Nama Bersifat Jibril. Sebab itulah dia [Isa] ialah Hamba Allah dan
penjelmaan Allah, dan keatasnya [Isa]
muncullah sifat-sifat Allah, bisa membangkitkan orang yang mati, dan mencipta seekor burung dari tanah liat,
serta bisa menyembuhkan orang buta.[38]
Di sini kita mendapat satu definisi
dari dua gelar tersebut yang tidak bergantung kepada teori-teori ‘tokoh-tokoh
lisan’ dan tidak berfokus hanya kepada manifestasi-manifestasi ilahi yang hadir
pada Isa, akan tetapi lebih kepada membicarakan tentang sifat dasar dan kodrat
Isa Al Masih.
Seorang penulis moden telah membuat
kesimpulan semua pengertian akhli-akhli Sufi tentang pengertian mereka terhadap
sifat dasar Isa, justru gelar Roh Allah diberikan kepadanya [Isa]:
Bentuk yang ditentukan (ta’ayyon) Isa Al Masih menembus dimensi kodrat wahadat yang
mencakup Keseluruh Sifat Dasar Ilahi,
karena itu sebutannya dipanggil sebagai ‘Roh Allah’; karena dia adalah Roh
Sempurna yang merupakan satu teophani (mazhar) Keseluruhan Nama Allah yang
komprehensif.[39]
Sekali lagi di sini kita mempunyai satu
definisi atas gelar Roh Allah yang berhubung erat dengan pribadi Isa atas
Pencakupan Keseluruhan Nama Allah.
Qashani memberikan satu kata dasar
alasan bagi kedua gelar yang diberikan kepada Isa yang begitu konsisten dengan temuan
Dr. Mahmoud mengenai kata roh dalam Al-Qur’an. Dr. Mahmoud juga menyatakan, ‘Roh itu berada
dalan satu panggilan tetap kepada Allah sebagai sumbernya,’[40]dan sama
seperti roh itu mempunyai sumbernya dari Allah, begitu juga dengan Firman
Allah. Tidak seperti roh-roh yang lain,
yang merupakan hasil dari manifestasi-manifestasi sekunder yang saling berkait,
kodrat Isa datang langsung dari Allah.
Sementara para akhli kitab yang
sebelumnya menetapkan bahwa Isa telah diberi gelar-gelar ini karena kemampuannya
dalam beberapa pekerjaan tertentu, di mana perbuatannya itu sempurna, Qashani
menghubungkan gelar-gelar itu dengan intisarinya. Dia tidak dipanggil sebagai Firman Allah karena dia melakukan
beberapa perbuatan ilahi, tapi dia melakukan perbuatan-perbuatan ilahi itu
karena dia adalah Firman Allah.
Selanjutnya Ibn ‘Arabi membantu kita
untuk mempertimbangkannya lebih jauh lagi.
Menurutnya, semua ciptaan datangnya dari Allah; segala sesuatu asalnya
dari Allah, apakah secara langsung ataupun tidak langsung. Ini berarti kita mempunyai dua pilihan
mengenai sumber datangnya Isa.
Yang pertama adalah dia datangnya dari
satu asal yang sekunder (yakni yang datang dari). Walau bagaimanapun, jika ini merupakan persoalannya, kata-kata
Ibn ‘Arabi terdahulu bahwa Isa adalah ‘satu Roh dari Allah, bukan dari sumber
yang lain’ tidaklah benar. Tambahan
lagi, tidak ada sesuatu yang bisa membedakan Isa dari asalan-asalan sekunder
lainnya.
Alasan yang kedua ialah Isa datangnya
langsung dari Allah dan bukannya dari asalan yang sekunder. Jika Ibn ‘Arabi mengatakan tentang ‘satu roh
dari Allah’ dan berhenti di titik itu saja, maka dia mungkin mengartikan bahwa
Isa datang langsung dari Allah atau datang dari sumber lainnya. Tapi pengecualian tersebut yang disebut
dalam kata-kata ‘tidak dari sumber yang lain’, memaksa kita untuk menyimpulkan
bahwa Isa datang langsung dari Allah.
Jika kita menimbang kenyataan Qashani
tentang mengapa Isa dipanggil sebagai Firman Allah dan Roh Allah, kita dapat
membuat tiga kesimpulan mengenai sifat dasar Isa Al Masih:
1.
Sifat dasar Isa Al Masih datang dari suatu Nama yang Pokok, bukan hanya
dari suatu Nama Sifat. Nama-nama pokok
berbeda dari Nama-nama Sifat – misalnya, ‘Yang Esa’ ialah satu Nama Pokok,
sedangkan ‘Yang Pengasih’ ialah satu Nama Sifat.[41]
2.
Sifat dasar Isa Al Masih datang dari kesimpulan akhir Hadirat
Ilahi. Qashani juga mengatakan bahwa,
‘Hadirat Ilahi itu ialah satu kesimpulan akhir dari segala Nama-nama Ilahi. Tidak ada perantara di antaranya dengan
intisari Ilahi itu’.[42]
Isa datangnya dari suatu Nama Pokok yang mencakup segala Nama-nama Ilahi.
3.
Sifat dasar Isa Al masih datang dari kodrat yang tersembunyi Wahadat
Tertinggi [Ahadiyah] Hadirat Ilahi
itu.
Kata Ahadiyah dalam terminologi Sufi bermaksud:
Wahadat Tertinggi yang membuat obyek itu tidak
ada pengetahuan pribadi yang khusus, karena sifatnya yang demikian, tidak bisa
dicapai makhluk semacamnya; hanya Allah saja yang tahu Diri-Nya dalam
Ketauhidan-Nya. Sebagai suatu keadaan
spirituil, Wahadat memerlukan
penghilangan semua bekas-bekas
ciptaannya.[43]
Jika Isa datangnya langsung dari Ahadiyah tersebut – yakni, dari Nama
Pokok yang menyimpulkan segala Nama-nama Ilahi, dengan tidak ada perantara di
antara dia dan intisari Allah, yang tidak ada wujud bekas-bekas ciptaan – maka
kodrat Isa bukanlah sesuatu makhluk; dalam kodratnya tidak akan ada satu kesan
bekas ‘ciptaan’ langsung. Karena inilah
sifat dasar semula Firman Allah, Isa dari yang semulanya. Tidak ada perubahan dalam sifat
dasarnya. Sifat dasar itu bukan sesuatu
yang dia capai. Apa saja yang dicoba
untuk dicapai oleh manusia bergantung kepada ‘upaya pribadinya, perjuangan
bathinnya, karakter, perilaku dan sifat etikanya’.[44]
Isa adalah Firman Allah yang datang
dari Wahadat oleh karenanya hanya Allah yang tahu akan Diri-Nya. Sebab itulah
mengapa Isa bisa memanifestasikan Allah, karena tidak ada seorangpun yang bisa
berbuat demikian. Qashani
menyatakan Isa: ‘Ia ialah satu roh yang
sempurna yang memanifestasikan Nama Allah’.
Dan hanya Roh Sempurna saja yang bisa memanifestasikan Dia Yang Sempurna
[Allah].
Hal ini adalah karena Isa datang ‘dari
Allah dan bukannya dari sumber lain – ‘dari kodrat Allah’ – sebab itu ia
dipanggil sebagai Firman Allah. Dengan
alasan seperti inilah ‘Attar terdorong menulis:
Jika Dia bukan Firman Allah,
Bagaimana harus Isa dihormati
sebagai ‘Roh Mutlak dan Benar’?[45]
Firman Allah adalah Kekal
Apakah
hasil Firman Allah berdasarkan waktu atau sesuatu yang kekal?
Firman Allah bukan saja dihasilkan atau
datang dari Allah tapi juga
senantiasa bersama Allah. Anda
mungkin bertanya, ‘Bagaimana?’
Jawabannya bisa didapati dari pemahaman orang-orang Muslim dalam sifat
dasar Al-Qur’an itu sendiri. Menurut
para akhli kitab, Al-Qur’an adalah:
Sesuatu yang dibaca atau dilafazkan dengan
lidah, ditulis dalam Masahif, diingat dalam hati, namun adalah sesuatu yang
Kekal, yang wujud dalam Allah Sendiri, tidak
bisa dipisahkan atau terpisah dari Allah dengan cara memindahkannya ke
dalam hati atau menulisnya di atas kertas.[46]
Dalam keadaan yang sama, kodrat Isa
dihasilkan atau datang daripada kodrat Allah dan tetap berada dalam kodrat
Allah. Waki’ Ibn al-Garrah yang dikutip oleh anak laki-laki Imam Ibn Hanbal
sebagai berkata:
Mereka yang mengatakan bahwa Firman-Nya
bukanlah datang daripada-Nya adalah orang-orang yang ingkar, dan mereka yang
mengatakan bahwa apa saja yang datang dari-Nya [yakni, dari kodrat-Nya] adalah
sesuatu yang dicipta adalah orang-orang yang ingkar.[47]
Razi menyatakan bahwa ‘Firman Allah,
menurut orang-orang Sunnah, ialah satu sifat yang yang cukup lama hadir di
dalam intisari Allah’.[48]
Ibn Hazm melaporkan Ibn Hanbal sebagai menyatakan, ‘Firman Allah itu ialah
pengetahuan abadi Allah dan maka ia bukanlah sesuatu yang tercipta’.[49]
Dari semua pernyataan di atas, sudah
tentu mengata tentang firman Allah yang bisa ditulis. Tapi prinsipnya yaitu apa
saja yang datang dari Allah Sendiri adalah sesuatu yang abadi tetap seperti
apa adanya.
Apakah Firman Allah hanya merupakan
kata-kata dan arti? Kita baca dari
Permasalahan 131 dalam buku al-Jawab
al-Mostaqim[50]
(yang berarti ‘Jawaban yang Lurus dan Benar’), satu koleksi persoalan yang
dijawab oleh Ibn ‘Arabi:
Apakah Nama utama Allah dimana darinya semua
Nama diperoleh?
Nama Besar Allah (Al-Ism Al-A’zam)...Dia adalah manusia yang Agung, Manusia yang
Sempurna.[51]
Di sini Ibn ‘Arabi melihat nama utama
Allah, bukan saja sebagai satu nama yang biasa, tapi juga sebagai seorang
manusia. Firman Allah bukan saja satu
nama yang biasa, atau ayat-ayat, atau satu makna/maksud, tapi adalah satu
pribadi. Dan huwiyya, intisari, tentang Isa Al Masih adalah intisari Allah,
seperti yang dikatakan oleh Qashani, ‘Huwiyya-Nya
[Isa] adalah Allah ‘.[52]
Karena segala sesuatu mempunyai huwiyyanya
yang tersendiri, yang membuatnya sedemikian rupa.[53]
Aliran mistik Islam ini sesungguhnya
menyediakan makanan untuk kita renungkan.
Dr. Qaradawi menyatakan:
Jika pendengaran kita adalah melalui
perantaraan udara sampai ke telinga kita. pendengaran Allah berbeda daripada
pendengaran kita. Dan jika penglihatan
kita mengenali benda-benda melewati
indra dan sinar atau cahaya penglihatan kita, penglihatan Allah adalah tidak
sama dengan penglihatan kita. ‘’Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia Maha Mendengar dan Melihat’ [Al-Qur’an
42:11].[54]
Jika pendengaran dan penglihatan Allah
adalah tidak sama dengan kita, maka firman-firman Allah adalah juga tidak
seharusnya difikirkan sama dengan kata-kata kita. Kata-kata kita mempunyai huruf-huruf dan bunyi sebutan, dan
mungkin juga adalah benar jika firman-firman Allah juga sedemikian rupa. Tapi mereka pada intisarinya tidak sama
dengan kita. Nasafi menyatakan bahwa
Firman Allah ‘bukanlah satu permainan huruf-huruf dan bunyi sebutan’.[55]
Jika Firman Allah yang mengambil bentuk
tulisan adalah tidak sama dengan kata-kata kita, apa lagi Firman-Nya yang
juga disebut sebagai Roh-Nya? Firman
Allah adalah suatu Roh yang Sempurna, dan sangat berbeda dari firman-firman-Nya. Karena firman-firman-Nya bisa mengambil bentuk
huruf-huruf seperti kata-kata kita, walaupun mereka tidak seperti kata-kata
kita, begitu juga dengan Firman-Nya yaitu Roh yang Sempurna yang bisa mengambil
bentuk manusia seperti kita, walaupun intisari Firman-Nya bukanlah intisari
manusia.
Maksud Ayat ‘Kami Perkuat Dia dengan Roh Suci’
Al-Qur’an menyatakan:
Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab Taurat kepada Musa lalu
kami iringi sesudahnya dengan beberapa orang Rasul dan Kami berikan kepada Isa
anak Maryam beberapa keterangan-keterangan mujizat, serta Kami perkuatkan dia dengan
roh suci.[56]
Tidak ada mufasir yang berselisih
pendapat tentang Isa satu-satunya yang dikuatkan dengan Roh Suci. Ini disimpulkan oleh Razi dengan komentarnya
yang dikutip pada bab terdahulu:
Bagian eksklusip Jibril kepada Isa [di dalam
teks Al-Qur’an maksudnya ialah Roh
Suci , bukan Jibril] ialah satu sifat yang sangat istimewa, agar tidak ada
seorang nabipun dari para nabi yang ditonjolkan. Karena dialah yang menyampaikan berita gembira kepada Maryam
mengenai kelahiran anaknya [Isa], dan Isa dilahirkan dengan peniupan Jibril;
dia [Jibril] membawa dia [Isa] dalam segala situasi, dan ia berjalan bersamanya
di mana saja dia berjalan, dan ada bersamanya ketika dia diangkat ke syurga.[57]
Tapi apakah yang dimaksudkan dengan ‘ia
berjalan bersamanya di mana saja dia berjalan’? Dan apakah yang dimaksudkan dengan ayat Al-Qur’an yang mengatakan ‘Kami perkuatkan dia dengan roh suci’?
Mengapa Jibril setiap kali disebutkan, dan bukannya Roh Suci?
Penulis buku al-Insan al-Kamel (Manusia Sempurna), Abd-Alkarim Al-Girani,[58]
sewaktu menjelaskan beberapa tahap pengalaman spirituil menuju kesempurnaan,
menulis di bawah tajuk ‘Roh Suci’:
...jika segala kebutuhan dasar umat manusia dan
nafsunya untuk menguasai kehidupan seorang manusia, maka rohnya akan
menyesuaikan diri dengan apa yang bersifat duniawi dan bisa jatuh...dia menjadi
seorang tahanan atas alam dan tabiatnya...di pihak lain, jika makhluk-makhluk spiritual mempunyai tangan atas hidupnya,
yang disebabkan oleh adanya pemikiran yang sejajar dan tetap, bukan pada
terlalu banyak makan atau tidur atau bercakap, dan menempatkan segala kebutuhan
manusia di belakang, maka baitnya akan memperolehi kelemah-lembutan
spirituil,sehingga dia bisa berjalan di atas air atau terbang di udara, dan
dinding tidak akan menghalangi geraknya, dan jarak yang jauh tidak membuatnya
berada jauh. Karena ketiadaan kebutuhan
dasar manusia maka dia ada pada tingkat ciptaan yang tertinggi...
Dan sekiranya hal-hal yang bersifat Ilahi
mempunyai tangan atas kebutuhan spirituil dan manusia itu, sama seperti ia
secara tetap bersaksi atas apa yang dipunyai oleh Allah, Nama-nama baik-Nya
serta Sifat-sifat tertinggi-Nya, maka ia akan menjadi orang yang kudus.
Karena kebutuhan-kebutuhan dasar umat manusia
ghairah dan kebutuhan-kebutuhan spirituil penting dan berpengaruh. Maka jika
manusia meninggalkan segalanya ini di belakang dan secara tetap bersaksi atas
rahasia itu, yaitu asal-usulnya, maka kuasa-kuasa rahasia Ilahi akan
dimanifestasikan di dalamnya, dan baitnya akan diangkat dari satu tempat yang
rendah dan kebusukan kemanusiaan kepada Kemahaan Keluhuran Ilahi (tanzih [59]). Tuhan menjadi pendengaran dan
penglihatannya, menjadi tangan dan lidahnya.
Sentuhan tangannya akan menyembuhkan yang sakit dan yang berpenyakit
kusta. Pengucapan dari lidahnya akan
menyebabkan benda-benda diwujudkan
dengan perintah Allah, dan dia menjadi yang
diperkuat oleh Roh Suci sama seperti yang Allah katakan dalam kesaksian Isa,
sama seperti apa yang dikatakan oleh-Nya: ‘Kami perkuatkan Dia dengan Roh Suci.’
Maka kita akan mengerti bahwa Allah berkata benar, dan menuntun ke jalan
yang lurus.[60]
Adalah penting dalam pengertian kita
terhadap ungkapan ‘Kemahaan Keluhuran Ilahi” di atas sebagai satu ucapan yang
ditujukan khas untuk Allah saja. Kata
yang digunakan ialah tanzih, yang
membawa maksud keterasingan, pemuliaan, pengakuan Kemuliaan Teramat Ilahi;
lawan katanya ialah tashbih, yang
membawa maksud perbandingan, kesamaan dan pengakuan simbolisme. Kedua kata ini sama-sam ditemukan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an sebagai ‘Tidak
ada yang seperti-Nya (= tanzih)’ dan ‘Dialah yang melihat dan
mendengar (= tashbih)’.[61]
Menurut Jilani, berada dalam Kemahaan
Keluhuran Ilahi ialah makna yang sebenarnya ‘Kami perkuatkan dia dengan Roh
Suci’ Dan hanya ada seorang yang diperkuat dengan Roh Suci, yaitu Isa Al Masih
Roh Allah.
Pada pandangan Jilani, justru, Isa
telah mencapai tingkat tertinggi
Keilahian (jika ada tingkat-tingkat dalam Keilahian). Karena ungkapan ‘Kemahaan Keluhuran’
membayangkan tidak ada tingkat yang perlu dicapaikan lagi. Dalam arti kata yang lain, tidak ada tingkat
yang lebih tinggi dalam Keilahian yang telah dicapai oleh Isa – Kemahaan
Keluhuran Ilahi yang dikatakan tentang Isa ialah suatu yang terakhir untuk
sepanjang zaman dan dalam kekekalan.
Bukan hanya kata tanzih yang penuh dengan konotasi Ilahi, tapi juga kata qods, ‘suci’, yang digunakan untuk
menggambarkan tanzih itu. Jilani mendefinisikan kata qods saat menjelaskan tentang tidak
diciptakannya Roh Suci, dia menyatakan tentang ‘Roh Kekudusan (qods), yang berbeda dari kecacatan dan
kelemahan perwujudan fisik’.[62]
Ini menunjukkan kata qods digunakan
hanya untuk menerangkan apa yang Ilahi, dan membuat qods at-tanzih setinggi yang mungkin, atau sebagai suatu bentuk tanzih yang mutlak.
Sementara kita menyetujui Jilani bahwa
Isa adalah Ilahi, kita tidak menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa
Keilahian itu bisa diperolehi/dicapai.
Sebaliknya, kesimpulan kita adalah Keilahian itu bukan diperolehi tapi dipegang oleh sifat dasar.
Sifat dasar Ilahi itulah yang sebenarnya dimiliki dan disandang oleh
Isa, sebab itu ucapan diperkuatkan dengan Roh Suci bukanlah merupakan satu
hasil dari suatu pencapaian. Karena
penguatan Isa dengan Roh Suci adalah pengalamannya dari lahir, seperti yang
disetujui oleh Baidawi, Jalalyn dan Razi. ‘Ia [Jibril=Roh Suci] berjalan
bersama dengan-Nya [Isa] ke mana saja dia pergi.’[63] Jibril [Roh
Suci] tidak meninggalkan Isa walaupun hanya satu jam’.[64] Jika
penguatan ini adalah pengalaman Isa sejak saat ia lahir, maka penguatannya
tidak mungkin dicapai melewati perjalanan masa.
Jadi, dari saat pertama Isa berada di bumi sebagai seorang manusia,
juga merupakantempo di mana dia berada pada ‘Kemahaan Keluhuran Ilahi’ (dengan
andaian asumsi kita seharusnya melihat dari teks Al-Qur’an, di mana ‘Jibril’ diartikan sebagai Roh Suci). Bukan itu
saja, tapi sebelum datang dalam bentuk seorang manusia, Isa sudah berada dalam
Kemahaan Keluhuran Ilahi yang sukar digambarkan, karena Dia ‘datang dari kodrat
tersembunyi Wahadat Tertinggi dari kesimpulan akhir Hadirat Ilahi’[65]
Isa tidak perlu bekerja keras untuk mencapai Keilahian, karena sesungguhnya
Keilahian itu adalah sifat aslinya sebelum menjelma sebagai seorang manusia.
Sifat Dasar Roh Suci
‘Diperkuat
dengan Roh Suci’ dimiliki oleh Isa dalam satu cara yang teristimewa sekali
sehingga ada setengah mufasir menyatakan bahwa Roh Suci itu ialah roh Isa Al
Masih.
Pengertian bahwa Roh Suci itu ialah Roh
Isa Al Masih bukan sesuatu yang aneh, karena kita telah melihat bahwa Isa juga
dipanggil sebagai suatu Roh dari Allah dan itulah satu deskripsi sebenar sifat
dasar-Nya.
Kita telah ketahui sebelumnya bahwa Roh
itu selalunya berkait erat dengan Allah, maka kedua ungkapan “Roh dari Allah’
dan ‘Roh Suci’ adalah berhubung erat dengan Allah. Keduanya tergolong dalam tingkat Ilahi; apa yang benar atas yang
satu, adalah benar juga bagi yang satunya lagi. Kita juga telah memperhatikan bahwa Roh itu disebut hanya karena
Roh itu berkaitan dengan Allah dan Isa saja.
Sekarang apa yang perlu kita tanyakan ialah: Apa hubungan antara Roh itu
dengan Allah?
Sedikit sekali yang bisa kita ketahui
mengenai Roh itu dari Al-Qur’an,
seperti ayat yang menyatakan sebagai berikut:
Mereka akan bertanya kepadamu tentang Roh. Katakanlah! “Roh itu termasuk urusan
Tuhan. Adapun ilmu yang telah kamu
peroleh tentang Roh itu masih terbatas sekali!”[66]
Bukan saja pengetahuan tentang Roh itu
sangat kurang, tetapi keinginan untuk mendapatkan pengetahuan tentang itu juga
dilarang keras. Ghazali menyatakan,
‘Pertanyaan yang terlalu mendalam mengenai intisari Roh itu merupakan sesuatu
yang dilarang keras oleh Undang-undang Allah’[67]
Bagaimanapun, manusia memiliki sifat
ingin tahu akan lebih dalam lagi artinya, telah berupaya terus mencari apakah
sebenarnya sifat-sifat dasar Roh itu, walaupun dilarang keras oleh agama.
Pengertian tradisional mengenai sifat
dasar Roh itu terungkap dalam pandangan akhli kitab Al-Baihaqi, yang
menyatakan:
Allah mencipta Adam sebagai seorang manusia, maka
ia berada dalam tubuh yang asalnya dari tanah liat selama empat puluh
tahun...dan ketika masanya telah tiba bagi Allah menghendaki roh itu ditiupkan
ke dalamnya, Allah berfirman kepada para malaikat...‘Ketika Aku meniupkan
kedalamnya Roh-Ku, sujud dan sembahlah dia’.[68]
Roh dari mana ditiupkan kepada Adam adalah
suatu makhluk dari ciptaan Allah. Allah
menyebabkan kehidupan pada tubuh itu dengan roh tersebut. Dia ditambahkan kepada Allah dengan cara
ciptaan dan pemilikan; Roh itu bukan bagian dari Allah.[69]
Menurut Baihaqi, justru roh itu
mengambil bagian dalam pewujudan Adam walaupun Roh itu sendiri adalah suatu
makhluk. Lagi pula, peran Allah dalam
penciptaan terhad atas pembentukan tubuh yang tidak bernyawa. Kehidupan tubuh itu datangnya dari roh ciptaan
itu.
Ada permasaalahan yang serius dalam
pandangan ini. Pertama, tidak ada makhluk yang bisa mengambil bagian dalam
pekerjaan penciptaan; karena pekerjaan itu adalah sesuatu yang Ilahi. Kedua, (walaupun tidaklah demikian halnya),
untuk mengatakan bahwa tubuh itu dibentuk oleh Allah sedangkan kurnia hidup
datang dari roh ciptaan-Nya memutarbalikan pekerjaan penciptaan itu ‘dari bawah
ke atas’, karena pembentukan Adam sebagai suatu ‘tubuh dari tanah liat’ adalah
lebih rendah pencapaiannya daripada pemberian nyawa atau kehidupan. Para
ilmuwan menyatakan dirinya bisa membentuk satu sel, tapi sel itu tidak
bernyawa. Manusia boleh menghilangkan
nyawa dengan membunuh atau bunuh diri, dan mereka bisa memindahkan kehidupan
dengan cara mempunyai keturunan, tapi itu semua atau apa saja makhluk ciptaan
Allah bisa memulainya. Pemberian nyawa
atau kehidupan itu adalah satu milik Ilahi dan satu rahasia Ilahi, bukannya
satu kebolehan makhluk-makhluk yang diciptakan.
Untuk alasan-alasan inilah, pandangan
bahwa roh itu yang memberi kurnia kehidupan kepada Adam seharusnya disangkal.
Roh itu apakah tidak Ilahi atau tidak ambil bagian sama sekali dalam pekerjaan
penciptaan. Walau bagaimanapun, Al-Qur’an menyatakan tentang roh itu mengambil bagian dalam penciptaan Adam. Jadi Roh itu sesungguhnya adalah Ilahi.
Secara tradisional roh dalam Islam juga
dikenal sebagai Jibril, malaikat Inspirasi itu. Pengenalan seperti itu, jika itu benar, akan menjadikan Roh itu
sebagai satu makhluk ciptaan Allah, walaupun ia mungkin merupakan yang
tertinggi sekali.[70] Pemahaman berikutnya tentang Roh itu boleh
didapati dari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, akhli mistik Sufi yang percaya bahwa:
Jibril tidak seharusnya dikenal sebagai
malaikat yang dikaitkan dengan Inspirasi itu....Tapi Jibril ialah suatu Prinsip
Kehidupan dari semua yang wujud: Ia adalah Roh secara total - semua yang wujud
diserap oleh Roh itu, tanpa mengenal tingkat-tingkat kehidupan yang mereka
miliki...Jibril itu sendiri adalah Kebenaran, yang dimanifestasikan dalam Roh Total
tersebut.[71]
Jadi menurut Ibn ‘Arabi, Jibril
bukanlah seorang malaikat tapi adalah seperti apa yang disebut oleh Jilani,
(seorang akhli Sufi lainnya), yaitu ‘Roh Suci’. Jilani menulis:
Ketahuilah bahwa Roh Suci itu ialah Roh dari
segala roh. Dia melebihi dan di atas
segala rentang dan jarak perintah daya cipta Ilahi ‘Jadilah!’ (Kon).
Ia tidak bisa dipanggil-Nya
sebagai suatu makhluk, karena Ia adalah suatu aspek yang istimewa [dalam
arti lainnya, muka] dari Kebenaran [yakni Allah] itu. Dengan aspek demikian, wujud menjelma. Penjelmaan itu adalah suatu Roh yang berbeda dari roh-roh lain,
karena Roh itu adalah Roh Allah di mana
ditiupkan ke dalam Adam, seperti yang dirujuk dalam firman Allah ‘dan meniupkan
Roh Aku ke dalamnya’, Maka roh Adam adalah yang tercipta sedangkan Roh Allah
tidak dicipta. Ia adalah Roh Suci;
yakni, Roh Kesucian yang berbeda dari
wujud fisik yang cacat dan kurang sempurna.[72]
Jilani percaya bahwa Roh Suci itu
bukanlah suatu makhluk. Begitu juga
dengan Ibn Hanbal, salah seorang dari empat pimpinan sekolah filsafat Islam,
yang menyatakan, ‘tuntutan bahwa Roh Suci itu ialah satu makhluk adalah suatu
bid’ah’.[73]
Menurut pandangannya, adalah satu bid’ah bahwa Roh Suci itu adalah suatu
makhluk, sama saja seperti orang menghina dengan mengatakan Firman Allah itu
adalah sesuatu yang diciptakan.
Imam Abu al-‘Azayem, seorang lagi akhli
Sufi, berkata:
Roh itu [yang dihembuskan oleh Allah ke dalam
Adam] ialah satu kesimpulan akhir segala kebenaran yang merupakan keterangan
yang sempurna.Untuk alasan inilah Allah menciptakan manusia abdi dalam (Kanjeng
Gusti) dan membuat para malaikat sujud menyembahnya.[74]
Ini adalah suatu pengakuan yang jelas
bahwa Roh itu bukanlah suatu makhluk, tapi sesuatu yang Ilahi. Seandainya Roh yang dihembuskan ke dalam Adam
itu adalah ilahi, yang membuat para
malaikat menyembah Adam dibenarkan, karena itu tidak tergolong kepada penyembahan
sesuatu makhluk kepada makhluk lainnya, tapi merupakan penyembahan suatu makhluk
kepada Keilahian dalam Adam.
Kesimpulan
Menurut
Dr. Mustafa Mahmoud, tidak ada perbedaan tingkat dalam Roh tersebut. ‘Roh itu senantiasa berhubung erat dengan
Allah, dan berada dalam satu gerakan yang tetap dari Allah dan kepada Allah.’ [75]
‘Roh tersebut tidak ada tempatnya di Firdaus atau Neraka, tetapi adalah suatu
nur cahaya dari cahaya terang Allah, berhubungan dengna Allah, bersumber
daripada-Nya.’[76]
Justru pelbagai pernyataan yang merujuk
kepada roh – ‘Roh Suci’, ‘Roh yang setia’, ‘Roh dari Allah’, ‘Roh-Nya’, ‘Roh
Aku[Allah]’, ‘Roh itu’ – kesemuanya adalah berkaitan dengan Allah. Semuanya itu memiliki tingkat kesucian yang
sama dan kemahaan Ilahi. Bukan saja Roh
Suci itu ‘melebihi dan di atas segala dan jarak perintah daya cipta Ilahi
‘Jadilah!’ (Kon), tapi juga Roh itu
dalam segala kata derivatirnya, di
manapun disebutkan dalam Al-Qur’an,
adalah melebihi perintah daya cipta itu.
Secara kasarnya, Roh itu, bukan saja Roh Suci, bukan suatu yang
diciptakan menurut penjelasan dari Al-Qur’an.
Jika Roh Suci itu Ilahi, dan jika tidak
ada tingkatan-tingkatan dalam hubungannya dengan Allah (karena Roh itu
berhubung erat secara langsung dengan Allah, bukan dengan malaikat atau
manusia), maka Isa yang disebutkan sebagai Roh Allah itu adalah juga Ilahi.
ISA AL MASIH DAN INTISARI ALLAH
Apa Maksud ‘Anak Allah’?
Kiasan-kiasan Tentang ‘Anak
Allah’
Tunggul Sebatang Pohon
Dua Sifat Dasar Isa Al Masih
Sejauh
ini kita telah menempuh tiga jalan yang berbeda dan bebas untuk menegakkan
Keilahian Isa Al Masih, Firman Allah dan Roh Allah.
1. Isa Al Masih adalah Ilahi karena dia adalah
“Firman Allah’ yang datang dari kodrat Allah.
2. Isa Al Masih adalah Ilahi karena dia
diperkuat dengan Roh Suci.
3. Isa Al Masih adalah Ilahi karena dia adalah
suatu ‘Roh dari Allah’, dan karena Roh Suci adalah Ilahi, dan ‘Roh’
menurut bahasa Al-Qur’an, adalah kemahaan Ilahi apakah itu mempunyai kata
penghubung ‘Suci’ ataupun tidak.
Dalam bab ini kita akan melihat
hubungan Isa Firman Allah dan Roh Allah itu dengan intisari Allah. Kita akan mengkaji ungkapan yang sering
menimbulkan kontrovesi yaitu Isa Al Masih sebagai ‘Anak Allah’.
Apa Maksud ‘Anak Allah’?
Orang-orang Nasrani, sama seperti orang-orang Islam, memanggil Isa Al
Masih sebagai Firman Allah, tapi mereka juga memanggilnya sebagai ‘Anak
Allah’. Terdapat begitu banyak
kesalah-pahaman mengenai sebutan tersebut, karena ada sebagian orang
memikirkannya sebagai satu istilah kegiatan bersifat seksual. Sekali-kali
tidak!
Teks-teks Al-Qur’an menyatakan bahwa Al-Qur’an
mengutuk sekali konsep fisik dan seksual tetapi tidak keputeraan konsep
spirituilnya.
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi. Bagaimana Dia akan mempunyai anak, padahal
Dia tidak beristeri? Dia menciptakan
segala-galanya dan Dia mengetahui segala-galanya.[77]
Bahwasanya, Maha Tinggi Kebesaran Tuhan kami,
Dia tidak beristeri dan tidak pula beranak.[78]
Bentuk penyangkalan dan penolakan akan
anggapan Allah mempunyai seorang anak dasarnya jelas Allah tidak mungkin
mempunyai seorang isteri. Namun di balik ketidak-mungkinan itu, Nabi Muhammad
bisa membuat pernyataan luar biasa dengan gampang, bersyarat dan aman:
Katakanlah!: ‘Jika benar Tuhan Yang Maha
Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang mula-mula menta’ati anak itu.[79]
Bagi Allah mempunyai seorang anak dengan
mengambil seorang isteri dalam perlaku biasa manusia adalah sesuatu yang tidak
bisa terpikirkan. Tapi kemungkinan bagi
Allah mengambil dan memilih seorang putera dilihat sebagai sesuatu yang mungkin
dan tidak mengerutkan dahi menurut Al-Qur’an
itu sendiri:
Seandainya Allah berkenan mengambil anak, tentu
Dia memilih mana yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang pernah
diciptakan-Nya. Tapi...Maha Suci Allah,
dari hal yang serupa itu. Dialah Allah Yang Maha Esa dan Perkasa.[80]
Jadi sekiranya konsep bahwa Allah bisa
mempunyai seorang anak melalui pengambilan seorang isteri dapat dihilangkan,
dan Al-Qur’an menyetujui dan mengakui
kemungkinan Allah bisa mempunyai seorang anak melalui pengambilan salah satu
daripada ciptaan-Nya. Al-Qur’an justru
tidak menolak konsep seorang anak Allah, tetapi menentang keras konsep Allah
mendapat seorang anak melalui pengambilan seorang isteri.
Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa
Ibn ‘Arabi tidak keberatan menggunakan satu ungkapan tentang Isa serupa dengan
‘Anak Allah’. Tirimizi, dalam bukunya yang berjudul Kitab Khatm Al-Awliya, menjawab persoalan: ‘Siapakah dia yang layak
menjadi segel kesalehan, seperti Muhammad yang layak menjadi segel
kenabian?’ Dikutip dari Al-Jawab Al-Mostaqim[81], dia
memberi jawaban Ibn ‘Arabi:
Dia yang menerima segel itu, ialah seorang manusia yang kelihatan sama seperti
ayah-Nya. Dia bukannya berkebangsaan Arab, berwatak sempurna, dia adalah
pilihan terbaik dari kalangan manusia.
Melalui dia siklus kerajaan disegel, dan melaluinya siklus kesalehan
akan disegel. Dia mempunyai seorang
pendeta yang bernama Yahya. Segel
universal ini yang memiliki keistimewaan spirituil dilihat dari sisi
kemanusiaan.[82]
(penekanan ditambahkan oleh pengarang)
Dalam
Al-Fotuhat Al-Makkiah, sebuah buku lain
karangan Ibn ‘Arabi, kita diberi lagi jawaban berikut yang lebih jelas:[83]
Ada dua segel – satu segel di mana Allah
mesegel kesalehan universal, dan satu lagi segel di mana Allah mesegel
kesalehan orang-orang Muslim. Segel
kesalehan dalam arti kata yang mutlak, ialah Isa Al Masih. Dia ialah orang saleh dari kenabian mutlak
di masa bangsa ini....Dia akan datang di akhir zaman sebagai seorang akhli
waris dan segel, tidak ada orang saleh setelah dia....Dia ialah Isa Al
Masih. Dia datang dari kalangan kita
dan Dia adalah gusti panutan kita!
Jadi perkara yang pertama adalah seorang
nabi,yaitu Adam, dan yang terakhir ialah seorang nabi, yaitu Isa Al Masih.[84]
Orang yang dikatakan sebagai menyerupai ayahnya dalam Al-Jawab Al-Mostaqim dijelaskan dalam Al-Fotuhat Al-Makkiah sebagai Isa, gusti panutan kita. Yahya berkedudukan sebagai seorang pendeta
atau duta bagi Isa, yaitu segel bagi kerajaan itu. Jadi Isa adalah raja dan Yahya adalah dutanya. Hanya ada satu saja raja, tidak banyak, dan Dia
adalah Isa Al Masih, karena itulah arti kata Al Masih seperti yang kita telah
bahas sebelumnya.
Apa yang penting di sini ialah dia yang
menyerupai dengan ayahnya ialah Isa.
Siapakah sang ayah itu, karena Isa tidak mempunyai seorang ayah yang
berbentuk manusia?
Dr. ‘Afifi memberikan satu penjelasan:
‘Jibril adalah seperti kepadanya seorang ayah, dan anak itu ialah satu rahasia
ayahnya.’[85]
Mari kita kaji pernyataan tersebut:
Pertama, perhatikan perbedaan antara
kata-kata yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi dan Dr. Abu al-‘Ala untuk menerangkan
keputeraan Isa. Dr. Abu al-‘Ala
keberatan untuk mempertalikan suatu hubungan yang langsung, justru dia
mengatakan Jibril adalah seperti
seorang ayah (yakni ‘di dalam tempat seorang ayah’) kepada Isa. Ibn ‘Arabi, di lain pihak, dengan
terus-terang dan berani menyatakan Isa ‘kelihatan seperti ayahnya’, bukan
‘kelihatan seperti seorang yang kelihatan seperti ayahnya’.
Lantas, kita perlu ingat bahwa Jibril,
seperti yang dipahami oleh Ibn ‘Arabi, bukanlah Malaikat Jibril. Dia ialah ‘Prinsip Kehidupan di mana segala
wujudnya...Kebenaran itu Sendiri yang dimanifestasikan dalam Roh yang total.’[86] Jibril adalah nama lain untuk Roh Suci. Dia bukan suatu makhluk, karena Dia melebihi
dan di atas segala rentang dan jarak perintah daya cipta Ilahi ‘Jadilah!’ (Kon).[87]
Jadi Roh Total itu, yang merupakan
Prinsip Kehidupan dan manifestasi Kebenaran itu, ialah ayah kepada Isa Al
Masih. Isa ialah anak kepada Roh Total
(yang dipanggil oleh Qashani sebagai suatu ‘roh sempurna’[88]). Dia ialah Anak Roh Kehidupan karena dia
memanifestasikan Prinsip Kehidupan dalam cara yang berlainan, dan dalam Dirinya
sendiri. Dia adalah anak Roh Kebenaran
karena dia memanifestasikan Nama Allah.[89]
Maka dalam ungkapan ‘dia kelihatan
menyerupai ayahnya’, ayah itu bisa berarti Roh Total, yang merupakan
manifestasi Allah. Tapi ia juga bisa
berarti Allah secara langsung. Ibn
‘Arabi menyatakan:
Adalah layak untuk menganggap Dia [Isa]
mempunyai suatu hubungan pertalian dari Tuhannya di mana dia mempunyai satu pengaruh
yang mana yang satu tinggi dan yang satu rendah.[90]
Apakah sifat dasar ‘hubungan pertalian’
antara Isa dan Allah? Ulasan-ulasan
Qashani atas pernyataan di atas adalah sebagai berikut:
...ini bermaksud karena dia datang daripada
Allah tanpa sembarang perantara, dan bukan datangnya dari siapapun, maka layak
untuk menganggap dia mempunyai suatu hubungan pertalian diakibatkan penjelmaan
sifat-sifat Allah di dalamnya, dan melakukan pekerjaan pribadi Allah olehnya –
membangkitkan orang yang mati dan mencipta burung, dan pengaruhnya dalam
derajat bentuk manusia yang tertinggi dengan membangkitkannya, dan dengan
pekerjaan yang paling rendah seperti membentuk burung dari tanah liat. Kedua-duanya [membangkit dan mencipta]
adalah pekerjaan esklusif Allah, seperti yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an 36: 78, 79: ‘Dan dia membuat
perumpamaan bagi Kami sambil melupakan penciptaannya semula. Ia bertanya: “Siapa pulakah yang dapat
menghidupkan kembali tulang-belulang yang telah hancur?” Jawablah: “Yang dapat
menghidupkannya kembali, ialah Tuhan yang telah menciptakannya dahulu untuk
yang pertama kalinya. Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk”[91]
Sifat dasar pertalian itu ialah dia
datangnya langsung dari Allah. Inilah
alasan paling kokoh tentang kesamaan itu.
Sifat tersebut memiliki satu kesamaan dalam sifat dasar. Dan bukti adanya kesamaan dalam sifat dasar itu ialah
kehadiran sifat-sifat Allah dan pekerjaan pribadi dalam Isa.
Jadi ‘ayahnya’ juga bisa bermakna
Allah, karena, sama seperti apa yang dikatakan oleh Qashani, dia datang
langsung dari Allah dan bukan dari Roh Total.
Adalah lebih tepat menggunakan ungkapan ‘ayah dan anak’ dalam
menerangkan pertalian antara Isa dan Allah daripada pertalian antara Isa dan
Roh Total.
Ini mengungkap kembali ungkapan Ibn
‘Arabi, ‘satu roh dari Allah, dan bukan dari sumber lain’[92] Dia adalah
satu roh dari Allah, bukan satu roh dari Roh Allah. Pertaliannya dengan Allah adalah secara langsung. Ini merupakan satu pertalian hubungan
derajat pertama, tapi hubungannya dengan Roh Allah adalah pertalian derajat
kedua. Maka adalah lebih pantas untuk
memanggilnya Anak Allah daripada Anak Roh Allah.
Kesimpulan ini cocok dengan kesimpulan
di Bab 1, di mana kita melihat (dalam kata-kata Qashani[93] ) bahwa Isa
‘datang dari kodrat Wahadat Tertinggi kesimpulan akhir Hadirat Ilahi itu’, dan
karena itu ia dipanggil oleh Allah sebagai ‘Roh-Nya dan Firman-Nya’. Isa Firman Allah itu ‘adalah dari kodrat
Allah dan sifat dasar-Nya yang tersembunyi datangnya dari Allah dan Namanya
yang berbentuk Jibril’.
Sebab itulah Isa dipanggil sebagai
‘Hamba Allah, dan pembuka rahasia Allah, dan diatasnya hadir sifat-sifat
Allah’. Dan itulah sebab dan maksud
panggilan ‘Anak Allah’ bagi Isa Al Masih.
Kiasan-kiasan Tentang ‘Anak Allah’
Kiasan-kiasan
ini adalah satu fakta bahwa baik Al-Qur’an
maupun Hadis menggunakan citra dan illustrasi hal duniawi untuk
mengkomunikasikan perkara-perkara yang berhubung dengan Allah. Al-Qur’an,
contohnya, berbicara tentang Tuhan, setelah penciptaan-Nya selesai, sebagai
berkata: ‘...lalu Dia bersemayam di atas arasy.’[94]
Demikian juga dengan Hadis, yang
membuat ungkapan-ungkapan seperti berikut:
Allah mencipta tiga benda dengan tangan-Nya;
Dia mencipta Adam dengan tangan-Nya, Dia menulis Taurat dengan tangan-Nya, dan
Dia menanam Firdaus dengan tangan-Nya.[95]
Allah turun ke syurga fisik...[96]
Allah akan meletakkan kaki-Nya di neraka...dan
itu akan menyusut.[97]
Allah berkata: ‘Ya anak Adam, jika engkau
bangun ke arah Aku, Aku akan berjalan kepadamu, dan jika kamu berjalan
kepada-Ku, Aku akan berlari ke arahmu’.[98]
Illustrasi-illustrasi sedemikian
bukanlah analogi yang sempurna tentang realitas spirituil, tapi kita tidak
dapat menyangkal bahwa mereka membantu kita untuk mengerti beberapa aspek apa
yang diterima oleh iman. Al-Qur’an sendiri menyatakan nilai
tersebut dengan penggunaan kiasan-kiasan.
Tidakkah kamu perhatikan cara bagaimana Allah
menampilkan perumpamaan: Ucapan yang baik seperti pohon yang baik.Akarnya
menghunjam teguh ke dalam tanah, sedangkan dahannya menjulang ke angkasa.[99]
Dan ‘Sesungguhnya Allah tidak merasa malu membuat perumpamaan berupa serangga
atau yang lebih kecil lagi dari itu.’[100]
Dari ayat yang di atas (Al-Qur’an 2:26), Razi mengatakan:
Bila orang-orang yang tidak percaya memfitnah
kefasihan lidah Al-Qur’an karena ia
membicarakan tentang lebah, lalat, labah-labah dan semut (untuk
mengillustrasikan sesuatu perkara), Allah Yang Maha Tinggi menjawab
tuduhan-tuduhan itu dengan berkata bahwa apa yang terkecil bagi benda-benda ini
tidak akan memperkecilkan kepintaran Al-Qur’an
selagi ia menyampaikan satu pengetahuan yang agung.[101]
Razi menganalisakan ayat tersebut
dengan menunjukkan bahwa Allah ‘menggunakan kiasan-kiasan
[perumpamaan-perumpamaan] di dalam Injil Isa Al Masih dengan benda-benda yang tidak
signifikan.’[102] Setelah menyebutkan beberapa perumpamaan
dari Kitab Injil, Razi kemudian membuat kesimpulan:
Adalah jelas, bahwa Allah menggunakan
benda-benda yang tidak signifikan untuk mengillustrasikan kebenaran-Nya. Pikiran kita dapat menerima dengan bantuan
kiasan-kiasan...jika makna itu dipersembahkan dengan satu perumpamaan maka
makna itu akan bisa dimengerti dengan bantuan imaginasi...dengan satu cara yang
sempurna.[103]
Maka ketika kita mau menerangkan
perhubungan antara Isa, Firman Allah dan Roh Allah itu dengan intisari Allah,
kita mungkin akan menggunakan kiasan-kiasan.
Di bawah ini ialah satu kiasan yang bisa menjelaskan subjek yang lebih
dalam ini.
Tunggul Sebatang Pohon
Bayangkan anda menemukan tunggul
sebatang pohon di suatu lahan. Tunggul
itu rata dengan tanah/bumi. Apa yang
anda dapat lihat ialah keratan melintang
tunggul itu. Bila anda menggali
sedikit di sekelilingnya anda mulai bisa melihat akar-akarnya. Apakah anda bisa mengatakan, dengan hanya
melihat akar pokok tersebut, apakah itu sebatang pohon mangga, jeruk atau apel?
Anda tidak mungkin dapat berkata dengan sekadar melihat akar itu saja. Sekiranya pohon itu tergolong dalam jenis
pohon jeruk, apakah anda bisa mengatakan
dengan hanya melihat akar-akar tersebut itu adalah pohon jeruk mandarin,
nipis atau lemon? Kapan anda bisa
mengatakan dengan pasti bahwa pohon itu adalah misalnya, jeruk mandarin? Hanya setelah melihat buahnya barulah anda
bisa berbuat demikian. Jika anda
mengambil bagian akar muda jeruk mandarin itu dan merasakannya, anda tidak akan
dapat merasakan apa-apa rasa jeruk mandarin.
Jika anda menggilingnya dengan blander, anda tetap tidak akan
mendapatkan setitik jus mandarinpun daripadanya.
Buahnya itulah yang akan memberitahu sifat
dasar tersembunyi pada akar tersebut. Buah
itulah yang merupakan manifestasi yang pasti dari akar-akar yang belum diketahui
itu.
Kita menemukan sesuatu yang serupa
bahkan merupakan masaalah lebih besar bila kita coba untuk mengenali
Tuhan. Karena Allah itu sesuatu yang
tak diketahui. Dr. Mostafa Mahmoud
mengatakan Allah tak diketahui: ‘Dia adalah sesuatu yang tersembunyi, dan
sesungguhnya tidak bisa kelihatan.’[104] Tiada
seorangpun yang pernah melihat Allah.
Akar sebatang pohon bisa dilihat, tapi tidak dengan Allah. Kapan anda bisa mengenali sebatang pohon itu
dengan pasti? Hanya setelah anda
melihat buahnya. (Adalah benar seorang pakar dendrologi mungkin bisa mengenal
pohon tersebut karena pengalamannya dengan akar-akar di masa yang lepas, tetapi
dengan Allah tidak ada seorangpun yang pernah melihat Dia.)
Isa adalah seperti buah dari pohon tersebut.
Melalui dia sifat dasar tersembunyi Allah telah dinyatakan, sama seperti
buah sebatang pohon itu menyatakan sifat asal kejadian akar-akar yang tersembunyi. Isa dan Allah adalah sama seperti buah dan
akar adalah satu dalam keadaan asal kejadiannya. Buah itu bukanlah akar, tapi adalah benar jika kita katakan bahwa
buah dan akar adalah satu. Isa adalah
ungkapan yang kelihatan untuk Allah
yang tidak kelihatan, sama seperti buah adalah ungkapan sifat tersembunyi
dari akar-akar tersebut. Dan itulah
yang dimaksudkan dengan Isa sebagai ‘Anak Allah’.
Adalah benar bahwa, dalam analogi di atas
mengenai pohon dan buahnya, akar tersebut mendahului buah. Yakni, pada satu titik waktu hanya ada akar
dan tidak ada buahnya, karena illustrasi pohon tadi dipunyai oleh waktu. Tapi apabila kita membicarakan tentang Allah,
kita berbicara tentang suatu yang abadi dan kekal, di mana waktu bukanlah
menjadi satu faktor langsung. Analogi
di atas mencoba mengutarakan satu pendapat, yaitu sama seperti buah ialah
satu ungkapan yang kelihatan bagi sifat tersembunyi akar-akar, begitu juga
dengan Anak Allah sebagai satu ungkapan yang kelihatan bagi Allah yang tidak
kelihatan. Ghazali, seorang akhi kitab
Muslim pernah berkata, ‘Analogi tersebut tidak perlu menyetujui semua cara atas apa yang direpresentasikan.’
[105]
Jika tidak bukanlah suatu analogi, tetapi suatu
salinan semata dari apa yang direpresentasikan.
Gelar “Anak Allah” tidak hanya merujuk
kepada Isa dalam bentuk manusianya. ‘Anak
Allah/Firman Allah’ tetapi telah terwujud bersama Allah secara kekal.
Dia adalah Tuhan yang bisa dikenali.
Dia dipanggil ‘Firman Allah’ karena firman tersebut membuka segala
pemikiran yang tersembunyi dalam diri seseorang.
Kata itu diucapkan atau tertulis merupakan satu ungkapan pikiran yang
tidak kelihatan.
Gelar ‘Anak Allah’ itu sama dengan
gelar ‘Firman Allah’. Keduanya merujuk
kepada Dia yang merupakan ungkapan yang kelihatan tentang Allah yang tidak
kelihatan, bukan saja ketika dia menjelma dan diberi nama Isa, tapi dalam diri
pribadi intisarinya sepanjang masa.
Dua Sifat Dasar Isa Al Masih
Manusia
sejak awal lagi mempunyai pendapat yang berbeda dalam melihat sifat-sifat dasar
unik Isa Al Masih. Ibn ‘Arabi memperhatikan bahwa:
Perbedaan-perbedaan pendapat mengenai Isa
muncul di antara manusia yang berlainan
agama yang dipeluknya. Mereka yang melihatnya dari segi bentuk
kemanusiaannya akan mengatakan dia adalah Anak Maryam. Mereka yang melihatnya dari sudut lambang
kemanusiaannya menghubungkan ia dengan Jibril.
Dan mereka yang melihat dia menurut kuasanya membangkitkan orang mati,
akan menghubungkan dia dengan Tuhan.[106]
Seperti yang kita telah lihat dan kaji,
Jibril dalam pemahaman Ibn ‘Arabi ialah Roh Total yang memanifestasikan Allah,[107]
yang bisa menjelma dalam bentuk seorang manusia.[108] Apa yang kita miliki di sini ialah dua aspek
yang mewakili dalam pribadi Isa: di satu pihak ialah bentuk manusianya, dan di
lain pihak ialah sifat-sifat Ilahi yang hadir dalam dirinya, karena kodratnya
datang secara langsung dari Allah. Dalam rangka kasar, kita mempunyai dua aspek
pada manusia yang bernama Isa: satu manusia dan satu Ilahi. Bagaimana ini dapat
diperjelaskan?
Al-Qur’an
dipercayai datangnya dari Allah.[109] Maka sebab
itulah ia dipercayai sebagai tidak dicipta, karena sumbernya dalam Allah
bukannya dicipta. Ibn Hanbal berkata, ‘Firman Allah ialah pengetahuan abadi-Nya
dan maka sebab itulah ia bukan dicipta’.[110] Dia juga menyatakan:
Barangsiapa yang mengatakan bahwa Firman-Nya
itu bukannya dari Dia telah menghina Tuhan, dan barangsiapa yang mengatakan apa
saja yang datang dari-Nya [dari kodrat-Nya] adalah yang dicipta juga menghina
Tuhan.[111]
Bukan saja Al-Qur’an dipercayai tidak dicipta (yakni Al-Qur’an adalah sesuatu yang abadi), tetapi juga para ulama
percaya bahwa Al-Qur’an mempunyai dua
sifat dasar, satu berbentuk fisik dan yang satu lagi Ilahi. ‘Bahwa sesuatu yang dilafazkan dengan lidah,
ditulis dalam Masahif, diingati dalam hati, namun adalah sesuatu yang Kekal,
yang wujud dalam Allah Sendiri, tidak bisa dipisahkan atau terpisah dari Allah
dengan cara memindahkannya ke dalam hati atau menulisnya di atas kertas’.[112]
Shahrastani mengutip kenyataan di
bawah:
Orang-orang Muslim awal (al-salaf) dan orang-orang Hanbali berkata: ‘Persetujuan telah
dicapai bahwa apa yang ada di antara kulit-kulit ialah Firman (kalam) Allah, dan apa yang kita baca
serta dengar dan tulis ialah sesungguhnya adalah Firman Allah. Maka ianya mengikuti bahwa kata-kata
individual (kalimat) dan huruf-huruf
(huruf) adalah sesungguhnya Firman
Allah. Tapi sampai di mana persetujuan
yang dibuat bahwa Firman Allah bukan dicipta, ia mengikuti bahwa kata-kata
individual dan huruf-huruf tersebut adalah kekal dan bukan dicipta.[113]
Namun Shahrastani mengutip satu lagi
kenyataan yang dia anggap pendapat orang-orang Muslim terdahulu:
Seseorang itu tidak seharusnya mengandaikan
bahwa kami menegaskan keabadian kepada
huruf-huruf dan bunyi sebutan yang hidup dalam lidah-lidah kami.[114]
Lantas para ulama percaya bahwa Al-Qur’an mempunyai dua sifat
dasar. Al-Qur’an bukan hanya merupakan sebuah buku yang muncul dalam masa
dan ruang, tapi juga dipercayai sebagai suatu yang tidak dicipta, yang kekal
abadi. Datangnya dari Allah dan
didandani dalam Bahasa Arab, teristimewa dari suku Quraish, ditulis atas kertas
dengan tinta dan diikat bersama dengan perekat (lem), dan dengan demikian hadir
di dalam sejarah manusia...dan satu hari nanti akan kembali kepada Allah.
Dalam cara yang sama Isa Al Masih
mempunyai dua sifat dasar. Sebab itulah
tidak mengherankan bahwa Khalifah Ma’moun (786-833), semasa komparminya
menentang kepercayaan dalam tidak-terciptanya Al-Qur’an, dalam surat ketiganya kepada Gabenur Baghdad, mengatakan
bahwa mereka yang percaya akan Al-Qur’an tidak tercipta adalah seperti orang-orang
Nasrani bila mereka mengatakan Isa anak Maryam tidak diciptakan karena dia
adalah Firman Allah’.[115] Ibn ‘Arabi menyatakan:
Tubuh badan Isa diciptakan dari air
sesungguhnya dari Maryam dan air imajiner Jibril....Isa datang membangkitkan
orang mati karena dia ialah Roh Ilahi – perbuatan membangkitan orang mati
kepunyaan Allah, sedangkan nafas itu [yang menyebabkan kehidupan] datangnya
dari Isa; sama seperti hembusan nafas yang ditiup adalah nafas Jibril, sedangkan
Firman itu datang dari Allah. Maka
pembangkitan orang mati adalah benar-benar satu pekerjaan Isa karena ia datang
dari hembusan nafasnya, sama seperti dia sendiri hadir dalam bentuk ibunya;
pada satu pihak yang lain, pembangkitan orang mati oleh Isa hanyalah sebagai
satu penampilan sedangkan dalam realitas ia datang dari Allah. Maka Isa menyatukan dalam dirinya dua
realitas...ia sama dengan penyembuhan orang buta dan yang berpenyakit kusta dan
kesemua pekerjaan mujizat yang dihubungkan kepada Isa pada satu pihak dan
kepada Izin Allah di lain pihak..karena sifat-sifat
dasar Isa mengandung kedua-dua aspek tersebut.[116]
Dia yang kekal itu datang dari Allah
hadir dalam masa dan ruang dalam bentuk manusia. Al-Qur’an bisa
dikatakan telah datang/turun dan tinggal dalam huruf-huruf dan kata-kata,
ditulis oleh tangan manusia atas pelbagai bahan yang berlainan; dan maka dari
itu bentuk fisiknya dicipta oleh manusia.
Tetapi Isa datang/turun dan tinggal dalam tubuh badan manusia yang
diciptakan oleh Allah. Dia tinggal
bersama manusia, dan merupakan yang paling rendah diri di antara manusia. Namun dia adalah Wewangian Allah, Nur Cahaya
Allah dan Kuasa Allah. Dia ialah
ungkapan yang kelihatan dari Allah yang tidak kelihatan.
Isa Al Masih adalah Kekal Abadi, Tidak
Dicipta, Ilahi, Firman Allah yang Mencipta.
Firman Allah yang bukan dari bentuk huruf-huruf dan bunyian sebutan
serta makna maksud, tetapi suatu Roh dari Allah. Firman Allah yang senantiasa muncul dan hadir dalam Allah yang
kekal, menjadi manusia, seorang Manusia Sempurna, dan tinggal di antara
kita. Namanya dalam sejarah ialah Isa.
Tidak ada orang yang pernah melihat
Allah. Hanya Isa Firman Allah yang
mempunyai kualitas kehidupan Allah itu, telah membuat Allah bisa
diketahui. Melalui Isa Allah akan mengukur
setiap manusia, di mana nasib dan takdir anda akan bergantung kepada respon
anda terhadapnya.
[1] At-Timirzi, Kitab Khatm al-Awliya, Disunting oleh
Othman I. Yahya, Imperial Catholique, Beirut, 1965, hal. 274.
[2] Al-Qur’an, 4:171.
[3] Al-Qur’an, 3:45, 3:39.
[4] Al-Qur’an, 4:171.
[5] Ibid.
[6] Al-Qur’an, 3:39 dan 45.
[7] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an 3:39.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an 3:45.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an 3:39.
[16] Al-Qur’an, 6:115.
[17] Al-Qur’an, 33:4.
[18] Al-Qur’an, 4:171.
[19] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an, 4:171.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Razi, at-Tafsir al_kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an 2:87.
[24] Al-Qur’an, 32:9.
[25] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an 45:13.
[26] A Guillaume, Life of Mohammad,
Terjemahan buku Ibn Ishaq yang berjudul SIRAT ARASUL, London, 1955, hal. 657.
[27] Tabary, mengulas ayat Al-Qur’an
3:39.
[28] Ibrahim al-Qatan, mengutip Dr. Mustafa MahMoud, Tafsir at-Tafsir, Jilid 3, hal. 1-6.
[29] Ibid., hal. 1.
[30] Ibid., hal. 2.
[31] Ibid.
[32] Ibid., hal. 1.
[33] Ibid.
[34] Ibid., hal. 2.
[35] Ibid.
[36] Qashani, mengulas akan Fusus
al-Hikam, hal. 171.
[37] Abd ar Razzaq al-Qashani: Sufi of the 13th Century, mufasir
bagi buku Fusus al-Hikam tulisan Ibn
‘Arabi.
[38] Qashani, mengulas akan Fusus
al-Hikam, hal. 171.
[39] Dr. Nurbakhash, Javad, Jesusin
the Eyes of the Sufis, Khaniqahi-Nimatullahi Publications, London, 1983,
hal. 26.
[40] Dr. Mustafa Mahmoud, A-Sser
Al-A’zam, dar Al-‘Awdah, Beirut, 1986, hal. 42.
[41] Nicholson, R.A., Studies In
Islamic Mysticism, Cambridge University Presss, 1967, hal. 93.
[42] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam,
hal. 11.
[43] The Wisdom of the Prophets (Fusus
al-Hikam), terjemahan darai Bahasa Peranchis oleh Angela Culme-Seymour, Beshara Publications, Aldsworth, 1975,
hal. 135.
[44] Nurbakhash, Jesus in the Eyes of
the Sufis, Khaniqahi-Nimatullahi Publications, London, 1983, hal. 28.
[45] Ibid., hal. 54.
[46] Sabbaki, at-Tabaqat al shafe’eiah
al-Kubra, Jilid 6, hal. 235.
[47] As-Sunnah, Imam ‘Abd Allah
Ibn Ahmad Ibni Hanbal, Dar al-Kutub al-‘Elmeyah, Beirut, 1985, hal. 15.
[48] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an 3:39.
[49] Ibn Hazm, al-Fasl fil-Milal III,
hal. 5.
[50] Al-Jawab al-Mostaqim, kertas
242.
[51] Al-Tirimizi, Kitab Khatm
Al-Awliya, Disunting oleh Othman I. Yahya, Imperial Cathollique, Beirut,
1965, hal. 306.
[52] Qashani, mengulas Fusus Al-Hikam,
hal. 174.
[53] Ibid., hal. 146, 8 ff.
[54] Yousef al-Qaradawi, ‘Elewah Mostafa dan ‘Ali Gammar, at-Twahid, Qatar, 1968, hal. 98.
[55] Taftazani, hal. 79, II.
7,10,11, dikutip oleh Harry Austryn Walfson, The Philosophy of the Kalam, Harvard University Press, 1976,
hal. 283.
[56] Al-Qur’an, 2:87.
[57] Razi, at-tafsir al-Kabir,
atas ayat Al-Qur’an 2:87. Lihat juga komentar Jalalyn pada ayat yang
sama.
[58] Abd-Alkarim Ibn Ibrahim Ibn Abd Alkarim Algili (AlJilani), Alqaderi
(Qotboddin), penulis banyak buku (1360-1428 Masehi).
[59] Perkataan Arab ini bermakna ‘pengasingan elemen anthropomorfisdari
konsep ketuhanan’ (The Hans Wehr
Dictionary of Modern Written Arabic, suntingan J M. Cowan, Edisi 3, Spoken
Language services, Ithaca, New York, 1976).
[60] Abd Al-Karim Al-Jilani, The
Perfect Man, Jilid 2, Al-Matba’ah Al-Azhareiah, Cairo, 1328H, hal. 9.
[61] Burckhardt, Titus, An
Introduction to Sufi Doctrine, Thorsons Publishers Limited, Wellingborough
Northamptonshire, 1976, hal. 125.
[62] Abd Al-Karim Al-Jilani, al-Insan
al-Kamel (The Perfect Man), Jilid 2, Al-Matba’ah Al-Azhareiah, Cairo,
1328H, hal. 8.
[63] Razi, at-Tafsir al-Kabir, Al-Qur’an 2:87. Lihat juga Jalalyn untuk komentar pada ayat
yang sama.
[64] Razi, at-Tafsir al-Kabir, Al-Qur’an 3:52-55.
[65] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam,
hal. 171.
[66] Al-Qur’an, 17:85.
[67] Ghazali, The Alchemyof Hapiness,
diterjemahkan dari Bahasa Hindustani oleh Claud Field, London, John Murray,
1910, hal. 21.
[68] Al-Baihaqi, Aby Bakr AhmadIbn Al-hosain Ibn Ali, Kitabu Al-Asma’a Wa Ssefat, edisi Pertama, 1313H, India. hal.
261.
[69] Ibid., hal. 262.
[70] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
atas ayat Al-Qur’an 2:30.
[71] Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, mengulas atas Fusus al-Hikam, Dar al-Kitab
al-‘Arabi, Bagian 2, 1980, hal.
180.
[72] Abd Al-Karim Al-Jilani, The
Perfect Man, Jilid 2, Al-Matba’ah Al-Azhareiah, Cairo, 1328H, hal. 8.
[73] Al-‘ustaz Mohammad Kamel So’aib, Megalat
Al-massarah, Lebanon, 1966, hal.
181. Dipetik oleh Mr Hadad dalam
Madkhal ela al-Hewar al-Islami al-masihi, al-Maktabah al-Boulesiah, Lebanaon, 1969.
[74] Dr. Mustafa Mahmoud, A-Sser
Al-A’zam, Dar Al-‘Awdah, Beirut, 1986, hal. 47.
[75] Ibrahim Al-Qatan, Taysir
Al-Taysir, Jilid 3, hal. 6.
[76] Ibid.
[77] Al-Qur’an, 6:101.
[78] Al-Qur’an, 72:3.
[79] Al-Qur’an, 43:81.
[80] Al-Qur’an, 39:4.
[81] Al-Jawab Al-Mostaqim, kertas
242.
[82] Tirimizi, Kitab Khatm al-Awliya,
Disunting oleh Othman I. Yahya, Imperial catholique, Beirut, hal. 161.
[83] Fotuhat Makkiah, 2:49.
[84] Tirimizi, Kitab Khatm al-Awliya,
Disunting oleh Othman I. Yahya, Imperial catholique, Beirut, hal.
161.
[85] Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, mengulas Fusus
al-Hikam, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980,
hal. 184.
[86] Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, mengulas Fusus
al-Hikam, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980,
hal. 180
[87] Abd Al-Karim Al-Jilani, The
Perfect Man, Jilid 2, hal. 8, al-Matba’ah al-Azhareiah, Cairo, 1328H.
[88] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam, hal.
171.
[89] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam, hal.
171.
[90] Ibn ‘Arabi, dipetik oleh Qashani, atas Fusus al-Hikam, hal. 172.
[91] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam, hal.
172.
[92] Qashani, mengutip Ibn ‘Arabi ketika memberi mengulas Fusu al-Hikam, hal. 171.
[93] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam, hal.
171.
[94] Al-Qur’an, 7:54.
[95] Al Hendy, Kanzol ‘Ummal,
Jilid 6, Hadis no. 557. Lihat juga 559.
[96] Sunan at-Tirmizi, Jilid
2, hal. 307, Hadis no. 446.
[97] Hendy, Jilid 1, Hadis no. 1172 dan 1173-1177.
[98] Hendy, Jilid 1, Hadis no. 1177, 1178.
[99] Al-Qur’an, 14:24.
[100] Al-Qur’an, 2:26.
[101] Razi, at-Tafsir al-Kabir,
mengulas ayat Al-Qur’an, 2:26.
[102] Ibid.
[103] Ibid.
[104] Ibrahim Al-Qatan, Taysir
at-Tafsir, Jilid 3, hal. Zeh dalam alfabet Arab.
[105] Ghazali, Ihya’ ‘Ulumed-Din,
Jilid 5, hal. 26.
[106] Fusu al-Hikam, dengan
komen-komen dari Qashani, hal. 178.
[107] Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, mengulas Fusus al-Hikam, dar al-Kitab
al-‘Arabi, 1980, hal. 180.
[108] Qashani, mengulas Fusus al-Hikam, hal.
176.
[109] Hendy, Jilid 17, Hadis no. 704. ‘Saat Hari Kiamat tidak akan datang
sehingga Al-Qur’an kembali kepada
tempat asal ia datang. Ia bergema
disekitar Takhta sama seperti desingan lebah, dan Allah Yang Maha Tinggi akan
berkata: ‘Apakah halnya?’ Al-Qur’an akan
menjawab, ‘Dari Engkau aku datang dan kepada-Mu aku kembali, aku telah dibaca
tetapi tidaka ada seorangpun yang melakukan apa yang disuruh.’
[110] Dikutip oleh Harry Austryn Walfson, The
Philosophy of the Kalam, Harvard University Press, 1976, hal.
251 dari Fisal III, hal.
5, II. 5-6.
[111] As-Sunnah, Imam, Abd Allah
Ibn Ahmad Ibn Hanbal, Dar al-Kutub al-‘Elmeyah, Beirut, 1985, hal.
15.
[112] Sabbaki, at-Tabaqat
ash-Shafe’eiah al-Kubra, Jilid 6,
hal. 235.
[113] Dikutip oleh Walfson, op.cit.,
hal. 251 dari Nihayat, hal.
313, II.4-8.
[114] Dikutip oleh Walfson, op.cit.,
hal. 251 dari Nihayat, hal.
314, II.3-4..
[115] Dikutip
oleh Walfson, op.cit., hal. 240-241 dari Tabari, Annals, hal. 118, II. 10-11. Lihat juga Sabbaki, Al
Tabaqat al Shafe’eiah, Jilid 2,
hal. 42.
[116] Qashani, mengutip Ibn ‘Arabi ketika mengulas Fusus al-Hikam, hal. 173-175.