Siapakah Qurra Itu Sehingga Semua Muslim Terjebak Mendewakannya?

Oleh: KALANGI

 

Wahyu itu Kalimat surga. Dan Quran itu keseluruhan Kalimat-Nya dalam sebuah Kitabullah Surga. Kitab ini tidak ditakdirkan untuk ditempatkan hanya di surga, tetapi juga akan dibagikan ke dunia secara utuh dan sempurna. Maka tatkala ia diturunkan dari Allah hingga kepada tangan dan hati manusia, Allah dengan kuasa sepenuhnya menjaga keseluruhan kesucian, kelengkapan, dan kesempurnaan isi, pesan dan semua dimensi Quran, sehingga sama identik sampai selama-lamanya! 

Tetapi apa faktanya? Turunnya “wahyu Quran” ke dunia ternyata samasekali bukan dilakukan dengan kuasa mukjizat Allah yang dapat disaksikan oleh manusia. Tak ada peran dan tanda-adikodrati apapun yang Allah perlihatkan sehubungan dengan Kalimat-Nya yang ditampilkan secara berdikit-dikit ke dunia selama 23 tahun! Yang tampak ada hanyalah sejenis tanda-insani yang pernah diklaim Muhammad, sepertinya “tanda-tanda epilepsy” (badan kejang-kejang, kening ber-keringat, mulut berbuih, hidung mendengus, kuping gemerincing suara lonceng dll). Dan dalam ribuan buku-buku dan artikel Islamik, debat dan peyakinan Islam tentang mukjizat keterjagaan Quran yang Murni sempurna (Qs.15:9), kita hanya disodori tentang betapa hebatnya otak dan ingatan para QURRA (penghafal ayat) dalam memastikan kesempurnaan teks-teks Quran yang terhimpun! (Awas, bukan mukjizat Roh). Sedemikian hebat kemampuan penghafalan seluruh isi Quran sehingga qurra dipercaya tidak mungkin membuat kesalahan terkecilpun ketika ayat-ayat tersebut dikumpulkan dalam mushaf Utsman (yang kini disahkan sebagai Quran Surga yang utuh)! Dengan perkataan lain, para ahli Islam merasa telah menemukan legitimasi kesempurnaan kitab Quran dari para Qurra (!) sebab sampai Muhammad wafat memang ia tidak pernah melegitimasikan kitab/mushaf manapun.  

Otak qurra telah dijadikan patokan tertinggi untuk menyusun sejarah yang bisa dijamin kebenaran mutlaknya. Tetapi sempurnakah “otak mesin” para qurra itu? Apakah Muhammad ikut menyaksikan dan melegalisasikan isi dan susunannya? Atau apakah itu dapat disetarakan dengan “hafalan” dari Roh Allah sendiri (atau Jibril), yang  langsung dan tanpa cacat? Atau kurang dari itu, pastilah ia bisa cacat, bukan? Mari kita bahas dengan jeli…

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa karena buta-hurufnya Muhammad, maka tampaknya ia hanya mempunyai pikiran yang terbatas tentang bagaimana sebaiknya ia menyimpan ayat-ayat yang sudah “diturunkan” kepadanya. Tentu saja orang yang asing dengan aksara akan otomatis menyimpannya hanya dalam otaknya. Apa yang diturunkan oral toh bisa dihafalkan secara oral, dan bisa diteruskan secara oral kepada penerusnya, bahkan berseni diteruskan dengan cara pengajian unit wahyu per unit wahyu dalam irama yang syahdu. Muhammad tampaknya tidak sampai berpikiran bahwa ayat-ayat itu harus dikumpulkan sejak awal dan disusun menurut tertib urut kronologi, lalu dicatat secara tertulis sehingga tidak ada yang tercecer dan terlupakan lewat waktu yang berjalan lama, demi  untuk diteruskan secara otentik kegenerasi lepas generasi!

Mungkin juga kealpaan Muhammad untuk membukukan “mushaf Muhammad” ini ada kaitannya dengan apa yang didengarnya secara naïf bahwa Isa Al Masih juga tidak pernah menuliskan Injilnya sendiri, kecuali kerjanya berjalan kaki bersama murid-muridnya dari tempat ketempat, “berkotbah” dan memberi peringatan hari kehari, dan melakukan mukjizat disana sini seizin Allah. Dan hanya sampai disitulah tugasnya Isa, sedangkan apa terusan/warisan pengajarannya, itu hanyalah urusan Allah semata…

Muslim mungkin akan menuduh ini analisis yang mengada-ngada? Samasekali tidak! Sebab Muhammad tidak saja “mengalpakan” pewarisan wahyu untuk pembukuannya, melainkan lebih-lebih lagi “konyol mengalpakan” pewarisan suksesi kekhalifahan dirinya kepada penerusnya! Pada saat-saat terakhir wafatnya, beliau justru samasekali “masa-bodo”, kosong otak, tidak mewariskan dua pusaka yang paling berharga tersebut, dalam menjaga kemurnian Islam!

Sekalipun Nabi ada menyuruh mencatatkan sejumlah ayat-ayat (misalnya oleh jurutulis Zayd), namun tidak ada kepastian bahwa semua ayat Quran itu tercatat. Tidak diketahui kapan Muhammad suruh mulai mencatatnya (Zayd masih anak kecil untuk ayat-ayat Makkiyyah), dan mustahil semuanya tercatat oleh satu orang, apalagi menurut tertib urut kronologi. Heboh kasus hilangnya ayat Khuszaimah membuktikan semuanya hanyalah acak-acakan saja (lihat bawah). Kekacauan ini terjadi mengingat tidak seorangpun yang selalu berada bersama dengan Nabi setiap kali wahyu diturunkan (di rumah, di tempat tidur, di mesjid, di waktu siang atau malam, di musim dingin atau panas, ditempat umum dan khusus, dalam perang, ketika membagi-bagi jarahan, dalam perjalanan, bahkan perjalanan ke surga dll). Yang pasti adalah bahwa tiap pencatat ayat hanya mencatat bagian yang diketahuinya secara kebetulan – ditempat dan waktu -- dimana Nabi sedang terturun unit wahyu, lalu buru-buru memakai apa yang tersedia disekelilingnya untuk mencatatkannya, seperti lempengan batu, kayu, tulang, kulit, pelepah kurma, apa saja yang kebetulan ada, atau sebagian dihafal jikalau memungkinkan.

Jadi inilah yang sering terlupakan oleh Muslim, bahwa tiap qari (penghafal ayat, single) sesungguhnya hanya memiliki kumpulan bunga-rampai ayat-ayat pribadinya sendiri-sendiri, yang jelas saling berbeda porsinya maupun bunyi isinya, sesuai dengan apa yang berhasil dicatat atau yang terhafal oleh masing-masing qari.

Jadi, sekalipun qurra adalah penghafal ayat yang tangguh, namun tidaklah benar manusia qurra - bukan dewa - itu memiliki seluruh Quran, dan yang tak mungkin keliru, lalai, atau lupa akan pernik-pernik seisi utuh Quran yang dihafalinya.

Pertama,  sudah sempurnakah porsi Quran hasil penyusunan qurra?
Betulkah Quran asli surgawi di Lauh Mahfudz itu sama persis mengandung jumlah 114 surat, 6236 ayat, 74.437 kalimat, dan 325.345 huruf, seperti yang dicatatkan dalam Quran kita sekarang ini, mengikuti mushaf yang dihasilkan qurra?  Maulvi Muhammad Ali dan para ulama lainnya menegaskan, “Quran adalah sebuah (himpunan)  manuskrip yang tidak mengenal variasi terkecil sekalipun”. Memang definisi Quran tidak mungkin bisa ditempatkan kurang dari itu. Tetapi realitasnya lagi-lagi mengungkapkan bahwa sejarah rekonstruksi Quran dimana-mana membantahi definisi kosong tersebut. Dalam Al-Itqan saja terlihat banyak riwayat-riwayat perselisihan dan bantahan yang terdapat dalam tubuh sahabat Nabi dan qurra sendiri!

Secuil “wikileaks” cukup kita lemparkan disini: semisal Codex naskah Ibn Mas’ud, yang tidak mengakui tiga surat mushaf Utsmani, yaitu surat-1, 113, 114 (Al-Itqan, bab kompilasi Quran). Sebaliknya Codex Ubay ibn Ka’b (sekretaris Nabi) menyodorkan dua surat tambahan yaitu surat 115 (al-Hafad) dan surat 116 (al-Khala), yang tidak dimiliki oleh mushaf Utsman. Sementara Codex Ali sebagian-nya diketahui telah disusun menurut urutan kronologi dimulai dari Surat 96, 74, 68, 73, 111, 81, dst. Lebih jauh Umar sampai bersumpah bahwa ayat rajam adalah bagian dari, dan ini dibenarkan pula oleh Ubay bin Ka’b, namun ayat ini dikosongkan dari Quran sekarang ini. Juga periwayatan yang dinisbahkan kepada Ubay dan Aisyah: “ Surat al_Ahzab yang saat ini memiliki 73 ayat, sebelumnya memiliki sekitar 286 ayat serupa dengan suratal-Baqarah” (Al-Itqan 1/p.64-65)….dll.

Menghadapi krisis kanan kiri ini sejarah mencatat bahwa Utsman memerintahkan solusi short-cut, yaitu memerintahkan membakar habis semua naskah-naskah asli Quran kecuali yang di edit-ulang oleh teamnya sendiri (para qurra). Naskah asli yang diharuskan dibakar itu tidak pernah dipersalahkannya, namun mushaf hasil re-editing team qurra Utsman itulah yang diproklamasikannya sewenang-wenang sebagai Quran yang sah! Jadi sempurnakah Quran dalam kitab yang diproduksi dan yang diabsahkan sendiri oleh Utsman dan teamnya?

Kedua, cukupkah jumlah qurra yang masih hidup yang menjadi saksi pembukuan seluruh ayat Quran?

Fakta gugurnya ratusan qurra dalam perang Yamamah (tradisi ada yang meriwayatkan total kematian 450 atau 500 atau 700 qurra pejuang, (entah versi riwayat mana yang benar), ditambah dengan ratusan lainnya sebelumnya dalam perang Muana, jelas menciptakan kemungkinan yang paling wajar bahwa ayat-ayat kumpulan mereka juga turut tergugur dan musnah selamanya bersamaan dengan kematian para qurra ini. Ini bukan kekhawatiran sepele, melainkan justru mencerminkan suasana kritis yang mencekam Umar dan Abu Bakar, yang mana mengindikasikan “kemungkinan banyaknya bagian Quran yang turut termusnah dalam peperangan” (Bukhari 61/ 509; Fadhail al-Quran3). Akhirnya pembukuan Quranpun buru-buru diberlakukan demi mengamankan isinya agar tidak menjadi makin melisut dan terhilang. Namun Ibn Abi Dawud men-sinis apa yang telah di-otak-atik dan dikumpulkan oleh 3 khalifah selama itu,                                                                      

“Banyak (porsi) dari Quran yang diturunkan (hanya) diketahui oleh mereka yang gugur pada Hari Yamamah…tetapi yang tidak diketahui (oleh mereka) yang masih selamat; juga tidak ditulis, tidak dikumpulkan oleh Abu Bakar, Umar atau Utsman (pada waktu itu) akan Quran-nya, dan tidak ditemukan oleh satu orang lainnya.” (Ibn Abi Dawud, Kitab al-Masahif, p.23).

Menjadi pertanyaan terbuka: cukupkah nara-sumber qurra yang masih ada untuk menyumbang seluruh isi Quran secara utuh dan benar? Bagaimana kalau ada satu qari saja seperti Khuzaimah (yang menyimpan satu-satunya ayat yang tidak dipunyai oleh qurra lain, lihat dibawah) yang telah keburu mati sebelumnya, baik dalam peperangan Mauna, Yamamah atau sebab lainnya?

Ketiga, siapakah itu qurra? Seberapa hebatnya  integritas moral mereka?

Pertama-tama, bertanyalah apakah qurra itu speciesnya dewa sehingga begitu didewakan otaknya? Bagaimana profile para qurra dizamannya Muhammad hingga mushaf pertama dimunculkan oleh peran mereka? Tidak banyak informasi tentang sosok qurra yang dikatakan jumlahnya mencapai ribuan orang (?). Benar mereka adalah penghafal ayat-ayat Quran, tetapi tidak mesti Quran (seluruhnya), mengingat bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki keseluruhan Quran sebelum dikumpulkan Abu Bakar lewat Zayd. Bagaimana dengan IQ-otak dan reputasi mereka? Bisa betul mereka jago hafal, tetapi pintarkah, atau justru bodoh kecuali hanya pintar membeo?

Banyak komentator menduga bahwa mereka umumnya adalah orang-orang buta huruf saja yang suka menikmati dongeng ala “1001 malam”. Ini sesuai dengan kenyataan mayoritas luas Arab dizamannya yang buta aksara, kecuali sejumlah kecil elite yang disebutkan nama mereka. Qurra menjadi pengikut Muhammad yang taat, dan getol menjadi pejuang di medan perang paling depan. Kenapa? Karena Muhammadlah yang pintar mempengaruhi dan mengikat mereka dengan pelbagai janji, ajaran dan ajakan. Mulai dari mendongeng kisah nabi-nabi Alkitab dengan adaptasi-pembelotan ala 1001 malam yang misterius, atau menakut-nakuti mereka dengan siksa kubur dan neraka, hingga memberikan jaminan nafkah yang menggiurkan bagi pejuang yang mau berperang! Yaitu dalam bentuk barang jarahan, budak, dan perempuan, disamping 72 bidadari surga yang selalu perawan sehabis seks!

Namun yang paling ketekoran bobotnya qurra adalah kenyataan bahwa semua mereka betul hanya membeo saja, dan tidak satupun diantaranya yang berusaha mencocokkan sendiri apa yang mereka hafal dengan kenyataan yang bisa mereka cari. Mereka telah menghafal dan membaca berpuluh ayat-ayat dimana Muhammad “membenarkan” dan memerintahkan mereka untuk harus “mengimani” TAURAT DAN INJIL (Qs.2:41, 89, 91, 101, 136; 3:3; 41:36; 5:43-48, 68; 6:92; 10:73, 94; 29:46; 32:23; 35:31; 43:4; 46: 39 dst), namun adakah seorangpun dari mereka yang berusaha untuk melacak (minta bantuan dari Ahli Kitab dll misalnya) apakah gerangan isi atau hukum dari Alkitab yang paling harus diimani, misalnya? Atau manakah mukjizat (tanda) Isa yang paling spektakuler menurut Isa sendiri? Atau apakah setiap orang Nasrani dipastikan akan masuk keneraka juga seperti yang dipastikan oleh Muhammad kepada mereka? (Qs.19:71). Dengan secuil pertanyaan yang paling mendasar inipun maka qurra akan mendapatkan jawaban yang membelalakkan mata mereka yang tidak pernah didengarnya dari mulut dan dongengan Nabinya sendiri! Semua qurra tampaknya tersihir dalam rentang fantasi dan insentif yang Muhammad suguhkan sepihak kepadanya, sedemikian sehingga kini Alkitab-lah yang dituduh Muslim sebagai palsu, bukan dongeng 1001 malamnya Muhammad. Palsu yang dibenarkan, dan yang harus diimani? Alangkah rendahnya IQ dan integritas para qurra …

Keempat, sudah benarkah kesaksian para qurra dimata Allah?

Maka banyak Muslim juga tersihir sampai tidak sadar bahwa keputusan untuk menyusun/membukukan Quran ini sesungguhnya menyalahi tiga sangkutan perkara “manusia--nabi--Allah” yang sangat prinsip. Yaitu prinsip batas kemampuan manusia, prinsip ingkar sunnah Nabi, dan prinsip ingkar perintah Allah:

(a) Batas kemampuan. Zayd yang paling tahu akan kemustahilan penyusunan kembali teks-teks Quran lepasan yang begitu berserakan, SPONTAN menolak penugasan tersebut dengan segala kejujuran, bahkan sumpah:

Demi Allah! ... Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Quran yang engkau perintahkan itu”...

Ribuan teks teks Quran yang terserak dan tercecer, acak atau terhilang kesetiap pencatat ayat yang bermasalah (hidup atau mati), mustahil bisa dijamin disusun kembali secara utuh dan sempurna seperti aslinya dari surga. 

Statement Zayd kepada Abu Bakar ini seharusnya sudah menjelaskan bahwa kehadiran otak-otak penghafal ayat belumlah apa-apa dibandingkan dengan “mission-impossible” dalam menyusun ayat-ayat Quran yang tercecer, kacau dan kehilangan referensinya. Pengakuan Zayd yang men-demi-kan nama Allah ini sungguh telah menampik orang-orang yang mendewakan qurra, mengingat bahwa Zayd sendiri justru adalah juga salah satu qurra yang paling handal! Keberatannya semacam itu haruslah diterima seberat seperti yang telah dikatakannya secara bebas (sebelum ditekan Abu Bakar), tanpa korting dan pereduksian apapun!

Zayd, qurra yang handal tahu keterbatasannya.
Kelak,
Abd Allah ibn Umar sama menafikannya sebagai kemustahilan, sehingga ia berkata apa adanya:

“Sungguh seseorang diantara kamu akan berkata: ‘Saya telah mendapatkan al-Quran yang lengkap’, dan tidak mengetahui taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Quran yang telah hilang (dzahaba), dan karena itu seharusnya ia berkata: ‘Saya telah mendapatkan (bagian Quran) yang masih ada’.”

(Rekonstruksi Sejarah al-Quran, p.230. Juga As Suyuti, Itqan, part 3, p.72).

Al-Suyuti juga mencatat kemustahilannya dari Ikrima: “Jikalau jinn dan manusia sama sama berhimpun menyusunnya (urutan Quran sebagaimana yang diwahyukan), mereka tidak pernah dapat melakukannya” (Al-Itqan, bab kompilasi).

(b) “Ingkar” Sunnah Nabi. Ketika Zayd terus didesak oleh khalifah Abu Bakar dan Umar, ia masih melakukan penyanggahan dengan kalimat yang merujuk kepada keimanan:

”Mengapa kalian melakukan sesuatu (penyusunan Quran) yang tidak diperbuat oleh Nabi?” (lihat Muqaddimah Al Quran, terjmh. Depag).

Abu Bakar mendalilkan perlunya penyusunan Quran ini sebagai proyek yang “sangat baik” untuk Islam walau Muhammad tidak pernah menganjurkannya sekalipun selama 23 tahun kenabiannya.  Semua Muslim sekarang agaknya juga akan memujikan hal yang sama sekalipun itu tidak di sunnahkan Nabi. Tetapi Muslim lupa bahwa jikalau hal itu sangat baik dan berguna bagi Islam dan umat-Allah, tentulah itu tak luput dari pengetahuan dan kehendak Allah untuk memerintahkan Muhammad membukukan Kalimat-Nya sejak dari awalpun! Jadi andaikata sekalipun tak ada Zayd & Abu Bakar yang membukukannya, apakah Allah tidak mampu menurunkan kuasa-langitNya untuk menghadirkan Qurannya secara utuh dengan cara yang samasekali berbeda dengan akal manusia? Bukankah janji-janji Allah luar biasa tegarnya terhadap KalimatNya sendiri? Termasuk “tidak ada perubahan”, “tidak dapat dipergantikan”, dan “tidak berkesudahan kehadirannya (kekal disisi Allah)” dari setiap Kalimat-Nya? (Qs. 6:34; 10:64; 48:23; 43:4; 85:22). Allah sendirilah yang menjamin ekistensi dan pemeliharaan kesempurnaan Quran-Nya hingga selamanya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya(Qs.15:9, dengan footnote dari Depag: Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya).

Jadi dimana iman Abu Bakar kepada Allah SWT, sehingga lebih mengandalkan pikirannya sendiri dan para qura,  ketimbang beriman kepada janji dan jaminan Allahnya. Apalagi ia sudah diperingati oleh Zayd sebelumnya untuk mengikuti “sunnah” Nabi saja! Namun Abu Bakar dalam kepanikannya tetap memaksakan “proyeknya” sendiri. Tidak heran mushafnya walau akhirnya selesai disusun, namun praktis dimubazirkan Allah: Mushaf ini tidak pernah menjadi acuan Quran resmi (Official Quran), melainkan hanya tersimpan sepi selama 15-20 tahunan selama 3 kekhalifahan tanpa manfaat kepada masyarakat Islam yang justru makin berkembang!

(c) “Ingkar” perintah Allah

Lebih dari apa yang tampak dari luar, adakah Muslim juga melihat bahwa pembakaran yang Utsman perintahkan dalam kepanikan itu bukan semata sebuah tindak kepanikan, kebodohan, dan kecongkakan yang tidak beriman, melainkan juga sebuah kejahatan dan bunuh diri? Kenapa? Bukankah Allah telah menyodorkan sebuah senjata pamungkas untuk menyaring setiap surat palsu Quran, yaitu dengan menantang semua manusia dan jin untuk bersekongkol membuat “Surat Semisal Quran” untuk dipertandingkan dengan surat asli Quran?

Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (semisal) Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (Sura 17:88).

“Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain allah, jika kamu orang yang memang benar” (Sura 2:23, 10:37-38).

Nah, Allah lewat Muhammad telah memperlengkapi setiap Muslim untuk membedah, mengidentifikasi, dan memilah setiap “surat-palsu-Quran” dengan ayat pamungkas seperti yang dikutib diatas. Ternyata ayat kebanggaan semua Muslim itu tidak digunakan samasekali oleh Utsman, yang lebih memilih untuk memilah naskah Quran miliknya (re-edisi qurra) dengan cara membakar semua naskah-naskah asli Quran tandingan lainnya! Kenapa Utsman sampai membangkang perintah Allah yang telah disiapkan itu? Ya, karena Utsman tidak berani memilah dan mempersalahkan “surat tantangan” manapun, karena iapun tak tahu persis mana yang salah mana yang benar. Bukankah semuanya itu telah sama dicatat langsung dari mulut Nabi sendiri?

Dan sama setali-tiga-uang dengan Utsman, semua Muslim sampai sekarangpun tak ada yang berani men-juri-kan apakah surat ke 115 dan 116 dari Ubay (surat al-Hafad dan al-Khala) adalah surat wahyu atau bukan wahyu! Ayat-ayat “pamungkas -ilahi” (yang sangat dibangga-banggakan Muslim sampai sekarang ini) ternyata impoten sejak dari lahirnya. Ia tidak bisa dipakai secara operatif untuk memilah ayat palsu yang berkwalitas, termasuk Muhammad sendiri tak mampu memilahnya! Ia hanya diperalat menjadi ayat penggertak Muhammad saja selama hidupnya. Dan seluruh Muslim telah tertipu mengelu-elukan ayat pamungkas dengan pepes kosong ini!

Sesuatu tantangan yang diklaim datang dari Allah tapi ternyata impoten, sia-sia, gagal dan mubazir tentulah menjadi bahan tertawaan. Klaimnya kepergok palsu belaka, karena firman Tuhan selalu perkasa, tak ada yang kosong, mustahil sia-sia:

“Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yesaya 55:11).

(BERSAMBUNG)

Artikel dipetik dari www.bacabacaquran.com