William Campbell: The Quran and The Bible in the light of history and science

Dan tidak ada Elohim yang selain Aku, Elohim yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain selain Aku. Berpalinglah kepadaKu dan kamu akan diselamatkan, hai seluruh ujung bumi, karena Akulah Elohim dan tidak ada yang lain. Aku telah bersumpah demi diriKu sendiri, firman telah keluar dari mulutKu dalam kebenaran, dan tidak akan kembali sehingga kepadaKu setiap lutut akan bertelut, setiap lidah akan bersumpah, dia akan berkata,”Sungguh, sesungguhnya hanya di dalam YAHWEH aku memiliki kebenaran dan kekuatan.”  
Yesaya 45:21b-24a


Dr. William Campbell

 

 

DAFTAR ISI

PRAKATA

MENGAPA MEMBUAT BUKU UNTUK MENJAWAB SEBUAH BUKU?

Buku apakah ini yang perlu “ditengok kembali” walaupun telah diterbitkan 10 tahun yang lalu?

Buku apakah ini, yang telah menjauhkan seorang dokter dari obat-obatnya selama tiga tahun, agar dapat menulis sebuah jawaban?

Ini adalah buku yang bisa dibeli di hampir di semua toko di Tunisia dan Maroko.

Ini adalah sebuah buku yang muncul di Amerika Serikat, di tangan seorang pemuda Mesir, yang ingin menggunakannya untuk mempengaruhi wanita yang ia pacari.

Ini adalah buku pertama di rak buku, tepat di bawah Qur'an dan Hadis, dalam Mesjid yang ada di Regent's Park di kota London.

Ini adalah sebuah buku yang dinilai sangat berharga oleh banyak orang, sehingga pada tahun 1983 telah diterjemahkan dari bahasa aslinya yaitu bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris, Arab, Indonesia, Persia, Kroasia, Turki, Urdu dan Gujarat.

Saya pertama kali mendengar tentang karya yang ditulis oleh seorang dokter Perancis ini, dari seorang pemuda Tunisia. Ia berkata, “Apakah anda telah Anda membaca buku yang ditulis Dr. Maurice Bucaille, Alkitab, Al Qur'an dan Science? Ia banyak berbicara tentang Alkitab dan Al Qur'an. Ia bahkan berkata bahwa Al Qur'an tidak mempunyai kesalahan ilmiah.”

Ketika saya mempelajari buku itu, saya menemukan bahwa pengarangnya memang memberikan banyak pendapat mengenai Alkitab dan Al Qur'an, dan ia berkata,

Hanya setelah saya mempelajari naskah bahasa Arabnya dengan teliti…saya harus mengakui bukti-bukti yang dipaparkan di hadapan saya: Qur'an tidak berisi satupun pernyataan yang bisa diserang dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern.

Sebagai kontras, ketika berbicara tentang Alkitab, ia menyebutnya sebagai hanya berisi “kontradiksi, ketidak-mungkinan dan ketidak-sesuaian”. Ia menyatakan bahwa ahli-ahli Alkitab biasanya mengabaikan hal ini, atau, jika mereka menyebutnya, mereka hanya, “coba mengkamuflasekannya dengan akrobatik-akrobatik dialektikal”

Muslim tentu saja sangat senang dengan kehadiran buku Dr. Bucaille ini karena, apabila yang ditulisnya benar, maka hal itu akan memperkuat keyakinan mereka pada Qur'an. Ini menjadi semacam saksi kedua.

Dan tentu saja, adalah fakta bahwa kita orang Kristen merasa sedih melihat betapa mudahnya kesaksian-kesaksian yang kuat akan kebenaran Alkitab, telah diabaikan.
Nubuatan-nubuatan yang telah digenapi sama sekali tidak disebutkan.

Dr. Bucaille menyangkali bahwa setiap penulisan Injil merupakan karya dari para saksi mata.

Salinan-salinan paling awal dari Injil dikesampingkan dengan beberapa kata saja, sehingga memberi kesan bahwa tidak ada kesaksian yang kuat terhadap keabsahan teks yang saat ini kita miliki.

Pada akhirnya, Injil dibandingkan dengan Song of Roland (Chanson de Roland), “yang mengkaitkan sebuah peristiwa nyata dalam sebuah cahaya khayalan/fiksi”

Pandangan-pandangan ini memang sangat cocok dengan kebanyakan klaim Muslim – bahwa kita orang Kristen telah merubah Alkitab – bahwa tak ada saksi-saksi yang valid yang menyaksikan perkataan-perkataan Yesus dan kehidupanNya.

Ini adalah tuduhan yang sangat serius dan meresahkan, tetapi karena telah mendengarnya dari hampir setiap Muslim yang berbicara dengan saya selama bertahun-tahun di Afrika Utara, saya pikir saya telah terbiasa dengan hal itu, bahwa itu tidak lagi mengganggu saya. Namun demikian, ternyata saya salah. 

Pada tahun 1983, ketika sedang melewati London, saya mengunjungi British Museum untuk melihat Codex Siniaticus, salah satu salinan terlengkap Perjanjian Baru yang berasal dari sekitar tahun 350 AD. Saya ingin mengambil gambar yang dapat dilihat pada halaman 155. Setelah meminta arahan dari penjaga museum, saya berterimakasih padanya karena pada akhirnya bisa mengambil gambar melalui kaca, tanpa ada pantulan cahaya pada gambar yang saya ambil.

Saya memandang sekilas kepada Alkitab itu dan seolah-olah muncul suara yang telah ratusan kali terngiang-ngiang di kepala saya ‘KALIAN TELAH MERUBAH ALKITAB KALIAN”. Maka saya pun menangis tersedu-sedu. Bahkan saat ini ketika saya menuliskan kata-kata ini, air mata masih mengalir di mata saya. Saya ingin menyentuhnya. Itu sama seperti menyentuh saudara-saudara saya yang telah menuliskannya 1600 tahun yang lalu. Kita akan berkumpul bersama meskipun mereka telah meninggal untuk jangka waktu yang lama. Ini adalah sesuatu yang nyata, bukti yang bisa disentuh bahwa Injil tidak pernah berubah.

Saya tidak jadi menyentuhnya. Saya minta ijin tetapi mereka tidak mengijinkan, jadi saya hanya mengambil gambar kemudian pergi.

Buku yang ada di tangan ada sekarang, adalah sebuah respon terhadap dua evaluasi yang dilakukan oleh Dr. Bucaille; tetapi, sebenarnya lebih besar daripada itu. Ini adalah sebuah usaha untuk mengkaji konfrontasi nytaa antara Islam dan Kristen pada level paling dalam, baik secara intelektual maupun emosional.

Sebagai contoh Muslim mengklaim bahwa Muhammad akan menjadi perantara/juru syafaat bagi umatnya. Ini adalah sebuah ide emosional yang menenangkan, karena tak ada orang yang ingin berdiri sendiri di hadapan cahaya putih pengadilan akhir Tuhan. Tetapi apakah dalam Quran ada bukti untuk ide seperti ini?

Memang secara emosional ini adalah gagasan yang menenangkan, karena tidak seorangpun mau berdiri sendirian di dalam cahaya terang pengadilan akhir Allah. Tetapi adakah bukti atas gagasan ini di dalam Al Qur'an?

Orang Kristen mengatakan bahwa Tuhan telah mengutus penghiburanNya di dalam Yesus, yang mati untuk membayar dosa-dosa dunia dan sekarang hidup untuk menjadi pensyafaat bagi mereka yang percaya padaNya sebaga Juru Selamat. Apakah ada bukti akan hal ini di dalam Injil?

Sebagaimana telah disebut di atas, Muslim mengklaim bahwa Alkitab telah dirubah. Apakah ada bukti untuk klaim ini di dalam Quran, dalam Hadis dan dalam sejarah?

Kalau kedua kitab ini berbeda dalam apa yang disampaikan, bagaimana caranya kita memilih diantara keduanya? Bagaimana kita mengetahui seorang nabi sejati?

Dan siapakah saya sehingga saya mencoba mendiskusikan semuanya ini? Pertama-tama, saya adalah seorang dokter medis Kedua, saya juga telah belajar bahasa Arab – bahasa Arab Afrika Utara. Ketiga, saya juga telah mempelajari Qur'an dan Alkitab.

Meskipun demikian, beberapa area yang dibahas dalam buku ini ada di luar kompetensi saya. Karena itu, saya telah meminta nasehat dari para spesialis di beberapa bidang: astronomi, geologi, dan bahkan ahli embriologi manusia, dan telah berusaha sedapat mungkin menghindari kesalahan-kesalahan fakta. Apabila roket yang dikirim untuk menyelidiki komet Halley menyebabkan informasi mengenai meteor dalam Pasal I Bagian 5 jadi ketinggalan jaman, saya memohon kesabaran Pembaca.

Saya juga telah meminta mereka yang bahasa Arab adalah bahasa ibu mereka, untuk mengevaluasi studi kata dalam buku ini tentang bahasa itu. Teman-teman lainnya termasuk isteri saya, juga telah memberi waktu mereka untuk membaca dan mengomentari seluruh naskah, dan saya berterimakasih pada mereka semua. Namun demikian, pada analisa akhir, saya sepenuhnya bertanggungjawab untuk semua yang ditulis pada halaman-halaman buku ini.

 

ASUMSI DASAR


Pasal pertama dan kedua berbicara tentang asumsi dasar serta bias yang ada pada setiap pengarang. Asumsi dasar dan bias pada pihak saya adalah pandangan yang saya anut bahwa Alkitab merupakan dokumen sejarah yang sah, dan bahwa kabar baik yang terdapat dalam Injil adalah benar. Dalam mendiskusikan arti Quran dan Injil, saya telah mencoba untuk memahami dan tetap pada arti yang tampak dari teks tersebut – arti yang akan dipahami oleh mereka yang mendengarkannya ketika ayat-ayat itu diberikan – dan menghindari godaan untuk membuat sebuah ayat mengatakan apa yang ingin saya katakan. Sejauh mana saya berhasil menyingkirkan pandangan bersifat bias yang saya buat, biarlah para pembaca yang memutuskannya.

Sebelum menutup, saya ingin menjelaskan mengapa saya memutuskan untuk memakai, nyaris bersifat eksklusif, istilah “asumsi dasar”. Seorang teman menyarankan bahwa kata ini bukanlah kata terbaik untuk mengekspresikan apa yang ingin saya katakan – khususnya dalam pasal-pasal mengenai ilmu pengetahuan. Ia menyarankan kata “presupposisi” (pra anggapan), “dalil”, “sebuah priori” atau “bias”. Juga bisa ditambahkan kata ‘perkiraan” dan “hipotesa”

Adalah benar bahwa "asumsi dasar" biasanya dimaksudkan untuk asumsi-asumsi yang sangat penting yang berfungsi sebagai landasan dari hidup seseorang, atau formasi dari sebuah hipotesis dalam ilmu pengetahuan. Karena itu, di banyak tempat, “dugaan” kemungkinan merupakan istilah terbaik, tetapi di akhir saya telah memutuskan untuk tetap memegang asumsi dasar. Saya lebih suka menggunakan istilah ini karena istilah ini mengikuti ide dari seorang filsuf Inggris ternama dari tahun 1300an, bernama William Occam. Ia berkata:

"Essentia non sunt multiplicanda praeter necessitatem",

Yang berarti,

"Asumsi dasar (tentang natur utama dari segala sesuatu)  tidak boleh digandakan melampaui keperluannya."

Ungkapan ini dikenal sebagai pisau (silet) Occam. Kita harus memotong (membuang), seperti menggunakan sebuah silet atau pisau tajam, atau setidaknya mengakui, seluruh asumsi-asumsi dasar ekstra.

Kedua, ini menjaga di hadapan kita idebahwa setiap kali kita membuat sebuah asumsi dasar, bahkan yang kecil sekalipun, ini merupakan sebuah permulaan yang baru. Kita terpaku pada nalar kita dan kita harus memikirkan sebuah penjelasan BARU yang mungkin.

Kita semua membuat asumsi-asumsi dasar yang BARU ini untuk coba merekonsiliasikan masalah-masalah. Di pasal I bagian 3, kita akan melihat bahwa “kritik-kritik tinggi” membuat sebuah asumsi dasar bahwa Musa tidak dapat menulis.

Di pasal II bagian 1, asumsi dasar Dr. Bucaille bahwa kata “asap” sebagaimana yang dipakai dalam Quran, bisa dikaitkan dengan gas-gas primordial yang diperbandingkan dengan asumsi dasar dari beberapa ilmuwan Kristen bahwa kata “air” sebagaimana yang dipakai dalam Taurat, juga dapat dipakai dengan cara yang sama.

Di Pasal II Bagian 4 kita akan melihat bagaimana Dr. Torki membuat beberapa asumsi dasar dalam diskusinya tentang ketujuh surga.

Tak ada yang salah dengan aktifitas ini. Ini bukanlah dosa. Inilah semua hal tentang berpikir, namun kita harus menyadari bahwa saat kita melakukannya kita harus menjaganya seminim mungkin.

Akhirnya, sedikit catatan tentang penggunaan kata-kata Arab. Nama-nama dalam bahasa Inggris dari Surah adalah seperti yang dipakai oleh Abdullah Yusuf Ali dalam terjemahan Qur'an-nya ke dalam bahasa Inggris.

Lambang-lambang fonetik internasional dipergunakan untuk penulisan nama-nama Surah dalam bahasa Arab, dan untuk kata-kata bahasa Arab yang didiskusikan dalam teks, kecuali untuk empat pengecualian seperti :”th” dan “sh”, sebab ada kata Inggris yang sepadan untuk bunyi-bunyi seperti itu. 

Walaupun demikian, ada juga wilayah abu-abu. Nama-nama pribadi pengarang Arab yang menuliskan nama mereka dalam bahasa Perancis atau Inggris, ditulis demikian sebagaimana mereka sendiri menuliskannya dalam huruf Latin.

Nama-nama pribadi Arab sebagaimana yang diberikan dalam terjemahan-terjemahan Hadis bahasa Inggris tidak seragam. Karena itu, saya selalu membiarkannya demikian sebagaimana para penulis Inggris menuliskannya, sebab saya belum pernah melihatnya dalam bahasa Arab.

Kebanyakan kata-kata Arab yang dimasukkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun-tahun lampau dan memiliki sebuah bentuk bahasa Inggris yang “benar”, seperti kata Hejira dan Shiite, telah ditulis dalam bahasa Inggris. Namun demikian, ada beberapa kata, seperti kata Muslim, Muhammad dan Quran, telah ditulis dalam bentuk bahasa Inggris baru yang telah dimodifikasi. Dengan pemikiran-pemikiran seperti ini, mari kita melihat dan mengkaji kembali Quran dan Alkitab dalam terang sejarah dan ilmu pengetahuan.


 
   William F. Campbell, M.D.
 

 

BAGIAN PERTAMA

PRAKATA

BEBERAPA ASUMSI DASAR MENGENAI KATA-KATA

Setiap pengarang, setiap pembaca, setiap orang yang mengambil bagian dalam sebuah diskusi, membawa ke dalam buku atau diskusi itu gagasan-gagasan dasar yang ia percayai sebagai kebenaran. Kadang-kadang gagasan-gagasan itu dapat diuji dengan penelitian atau pengukuran sebagaimana halnya dalam ilmu pengetahuan, dalam arkeologi, atau dengan mengacu kepada dokumen-dokumen sejarah. Tetapi sering juga gagasan-gagasan tersebut tidak dapat diuji, dan khususnya gagasan-gagasan yang tidak dapat diuji inilah yang kami sebut sebagai asumsi-asumsi dasar.

Sebagai contoh, saya percaya bahwa zat adalah nyata, bahwa kertas di mana buku ini dicetak benar-benar ada di sini, hadir secara solid dalam dunia ini. Akan tetapi ketika saya mempelajari filsafat di universitas, professor memberitahu kami bahwa ada seorang Yunani bernama Zeno yang meyakini bahwa dunia ini seluruhnya hanyalah khayalan. Dalam ketidak tahuan saya, saya mengangkat tangan dan bertanya, “Tetapi bagaimana ia dapat menikmati hidup kalau ia berpikir bahwa semuanya ini hanyalah khayalan?”

Secara natural professor menjawab, “Kenapa? Tidakkah kamu dapat menikmati khayalan?”

Tentu saja dia benar. Secara teori tidak ada alasan kenapa kita tidak dapat menikmati khayalan. Kita menghabiskan banyak waktu mengkhayalkan ilusi-ilusi. Masalahnya adalah bahwa hal itu tidak sesuai dengan asumsi dasar saya bahwa dunia ini adalah sesuatu yang nyata.

Ini adalah asumsi dasar yang sama untuk Muslim, Kristen dan Yahudi. Ketiganya percaya ada satu Tuhan Yang menciptakan alam semesta ini dari ketiadaaan – sebuah alam yang dapat dipegang dan diukur.

Akan tetapi, bilamana asumsi dasar kita tidak sama, kita akan menghadapi banyak masalah.  Satu hari di Maroko, seorang laki-laki datang kepada saya untuk konsultasi medis. Ketika saya bertanya apa pekerjaannya, ia menjawab bahwa ia adalah seorang “’alim” atau guru agama. Kami berbicara sedikit tentang Injil dan kemudian ia mengundang saya ke rumahnya untuk berbicara lebih jauh. Dalam pembicaraan kami, kata “al-messiya” yang terdapat di Yohanes 1:41 muncul dalam pembahasan. Saya berkata, “asal kata ini adalah dari bahasa Ibrani “meshiakh” yang dalam bahasa Arab “al-masih” dan sama dengan “messiah” dalam bahasa Inggris.
 
Ia berkata, “Tidak, ini adalah nama lain untuk Muhammad. Muhammad mempunyai banyak nama”
 
Kami berdebat kusir dan akhirnya saya berkata, “Baiklah, mari kita cari di kamus. Tentu Anda mempunyai sebuah Munjid (Kamus Arab)”.
 
“Oh tidak. Kami tidak boleh melakukannya,” jawabnya.
 “Mengapa tidak. Saya yakin kita akan menemukan jawabannya di situ.”

“Tidak! Kami tidak boleh melakukannya!” ia mengulang, “Engkau yang menulis kamus itu!”
 
“Apa maksudmu ‘saya yang menulis kamus itu?’” Saya bertanya, “Saya tidak ada urusan dengan penulisan kamus itu”.
 
“Ya tentu saja, karena kamus itu ditulis oleh orang-orang Kristen.”

Dan itulah akhir pembicaraan tersebut. Di Maroko 25 tahun yang lalu, satu-satunya kamus Arab yang dijual adalah yang dikarang oleh orang-orang Katolik di Lebanon, dan ia tidak mengakui keabsahan kamus itu. Kalau kita berbeda pendapat tentang arti sebuah kata, kita tidak dapat mengkonsultasikannya pada sebuah kamus. Kita tidak lagi memiliki  asumsi dasar yang sama atas keabsahan kamus itu.
 

ARTI KATA-KATA

Adalah jelas dari contoh di atas, agar kita dapat melakukan diskusi yang bermakna mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan religius, maka kita harus setuju dengan arti kata-kata, dan bagaimana arti dari kata-kata itu dapat diketahui. Hal ini muncul berulang-ulang di buku Bucaille. Ia menulis satu pasal penuh untuk menjelaskan makna kata Arab ‘alaqa’. Ia juga menulis empat halaman yang berpusat pada arti kata Yunani ‘laleo’, ‘akouo’, dan ‘parakletos’.

Jadi bagaimana kita mengetahui arti kata-kata? Siapakah yang berkuasa untuk memutuskan arti mana yang benar? Bagaimana kita membuat kamus?

Jawabannya adalah Anda dan saya-lah yang membuat kamus. Kita membuatnya berdasarkan penggunaan kata-kata pada suatu periode waktu.

Ahli Bahasa memperlakukan penggunaan ucapan dan tulisan agak berbeda, tetapi karena kita berbicara mengenai Quran dan Alkitab, keduanya dokumen tertulis, kita akan menjelaskan metode yang digunakan untuk bahasa tulisan.

Dr. S. I. Hayakawa, Spesialis dalam Linguistik dan Profesor Bahasa Inggris di San Francisco State College [1], menguraikan proses pembuatan kamus sebagai berikut:

“Marilah kita melihat bagaimana kamus dibuat dan bagaimana para editor sampai pada sebuah definisi. Tugas menulis kamus dimulai dengan membaca sejumlah tulisan pada masa itu atau pokok bahasan yang harus diliput oleh kamus tersebut. Sambil membaca, editor menyalin kata-kata yang menarik atau jarang, setiap kata umum yang tidak biasa atau muncul secara ganjil, sejumlah besar kata-kata umum dalam penggunaan yang biasa, dan juga kalimat-kalimat dimana setiap kata-kata ini terlihat.

“Jadi, konteks dari setiap kata dikumpulkan, bersama dengan kata itu sendiri… Ketika pemilihannya telah selesai, bagi setiap kata ada 2 atau 3 hingga beberapa ratus kutipan-kutipan sebagai ilustrasi, masing-masing pada kartunya sendiri.

“Kemudian, untuk mendefinisikan arti sebuah kata, pengedit kamus memeriksa semua kartu yang memuat kata itu. Setiap kartu mewakili satu penggunaan aktual dari kata itu oleh seorang penulis, berdasarkan kepentingan literatur atau historikal. Ia membaca kartu-kartu itu dengan hati-hati, mengesampingkan beberapa kartu, membaca ulang sisanya, dan membagi-bagi kartu itu  dalam kelompok yang menurut pikirannya merupakan arti dari kata itu. Akhirnya ia menulis definisinya, dengan mengikuti aturan yang tegas dan cepat bahwa setiap definisi HARUS didasarkan pada, apakah kutipan yang ada di hadapannya itu menyingkapkan arti dari kata tersebut.

“Karena itu, penulisan kamus bukanlah sebuah tugas untuk menentukan pernyataan otoritatif mengenai “arti sesungguhnya” dari kata-kata, tetapi sebuah tugas untuk merekam, dengan menggunakan kemampuan terbaik seseorang, apa saja arti dari beragam kata bagi si pengarang yang hidup pada masa lampau yang jauh. Penulis dari sebuah kamus adalah seorang sejarawan, bukan seorang pembuat hukum.”
 
 
ARTI DARI PENGGUNAAN
Sebagai contoh bagaimana menemukan arti sebuah kata dari penggunaannya, marilah kita mengkaji penggunaan kata Arab yang berarti “beban”, (al-wizr), kata benda yang terkait adalah “yang berbeban” (al-wazira), dan akar kata kerjanya adalah “memikul” (wazara) sebagaimana ditemukan dalam Quran. Konkordansi Quran memberitahu kita bahwa kelompok kata ini dipakai sebanyak 24 kali. [2]

Bagian pertama yang ingin kita amati adalah yang terdapat dalam Surah Ta Ha, 20:87, dari masa pertengahan periode Makkiyah, dimana kita membaca tentang anak-anak Israel sesudah mereka membuat patung lembu emas:

Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, …”

Kalau ini kita letakan pada kartu 3 x5, kemudian kita memilahnya dengan kalimat-kalimat lain, yang memperlihatkan bahwa beban berarti sesuatu yang anda angkat. Juga mungkin ia berarti sesuatu yang berat atau sukar, karena mereka diharuskan atau dipaksa membawa beban-beban itu.
 
Berikutnya kita dapat melihat di Surah Muhammad 47:4, dari tahun 1 A.H.[3] dimana kaum Muslim diperintahkan untuk memerangi kaum penghujat hingga mereka takluk:

“…. dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir... Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”

Disini beban mempunyai arti baru. Ini masih sukar, tetapi dalam konteks ini kata tersebut mengacu pada orang-orang yang terluka dan terbunuh dalam peperangan, dan mungkin juga mengenai kesedihan karena kehilangan teman atau orang-orang yang dicintai.

Akhirnya kita sampai pada ayat-ayat berikut. Kata-kata benda dan kata-kata kerja yang ditulis dalam huruf tebal mewakili kata-kata Arab yang sedang kita pelajari, dan kita akan membayangkan bahwa kita menulis setiap ayat masing-masing di atas kartu 3 x 5.
 

Asal mula penciptaan (Fatir), Surah 35:16, 18, awal Makkiyah.

Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. …
 

Bintang  (An Najm), Surah 53:36-41, awal Makkiyah.

Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,… Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,
 

Thaahaa, Surah 20:100-102, pertengahan Makkiyah.

“Barangsiapa berpaling dari pada Al qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat, (yaitu) di hari (yang di waktu itu) ditiup sangkakala...”
 

Binatang Ternak (Al An’am), Surah 6:31, akhir Makkiyah.

Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: “Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!”, sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu.
 

Surah 6:164, akhir Makkiyah.

…. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
 

Rombongan (Al Zumar), Surah 39:7, akhir Makkiyah.

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu.”
 

Lebah (An Nahl), Surah 16:25, akhir Makkiyah.

“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.

 

Anak-anak Israel (Bani Isra'il), Sura 17:13-15, -1 AH.

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu." Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, …”

 

Adalah sangat jelas apabila kita memperbandingkan ayat-ayat ini satu sama lain, kata ini dipergunakan untuk jenis beban yang lain. Kalau kamu menyangkal pesan Allah, kamu memikul beban ini. Kalau kamu menghujat atau menyangkal bahwa akan ada hari kebangkitan, maka ia akan membebanimu. Beban ini adalah hasil dari tindakan setiap orang, dan sebuah catatan tentang hak itu disimpan dalam sebuah buku yang kamu akan membacanya untuk dirimu sendiri. Kata ini diucapkan sebagai sesuatu yang diangkat pada punggung, tetapi Tuhan juga tahu apa yang ada di dadamu (‘hati’ dalam bahasa Indonesia). Dari ide-ide ini, kita bisa dengan mudah memahami bahwa beban di sini artinya dosa-dosa kita.

Dengan mengambil kartu 3 x 5 kita, maka definisi yang kita buat untuk kata ‘wizr’ sebagaimana dipakai di Saudi Arabia oleh suku Quraish pada masa Muhammad, terbaca:

beban berat, beban – baik fisik atau psikologis
dosa, menyangkal Allah.
 

Jika kita mencari arti kata wizr di Kamus Tulisan Arab Modern karangan Hans Wehr, inilah yang kita temukan:

beban berat, beban, rintangan;
dosa, criminal;
pertanggungan-jawab, tanggung jawab.

 

Kita tidak menjadikan ‘tanggung jawab’ sebagai sebuah arti yang kita usulkan, tetapi “beban berat, beban” dan “dosa”, kita anggap sebagai arti yang tepat dari kata tersebut pada konteksnya.

Dalam sebuah kamus teologi kita akan menemukan lebih banyak catatan mengenai ayat-ayat ini, yang menyatakan bahwa tidak ada pendosa yang dapat menolong orang berdosa lainnya walapun ia adalah seorang keluarga dekat. Setiap orang akan dihukum sesuai dengan isi buku catatan dosa masing-masing. Satu-satunya pengecualian, bahwa jika kamu menyesatkan seseorang, maka kamu akan mendapatkan tambahan hukuman, walaupun orang yang disesatkan juga harus memikul dosanya sendiri. Apakah seseorang yang tidak berdosa—seorang yang tidak memiliki bebannya sendiri—dapat menjadi perantara atau memikul beban orang lain, tidak dibicarakan dalam ayat-ayat ini.

 

BAHASA TERUS MENERUS BERUBAH
Dalam kuliah yang ia beri di tahun 1910-1911, Professor Ferdinand de Saussure, bapak bahasa modern dari Swiss, mengekspresikan fakta ini dengan kata-kata yang kuat sebagaimana berikut. Ia memberi tahu murid-muridnya,

“…bahasa mengalami kemerosotan, atau lebih tepatnya, berubah pelan-pelan yang dapat menjangkau baik bunyinya maupun artinya. Perubahan ini tidak dapat dihindari (“fatale” dalam bahasa Perancis). Tidak ada contoh dari sebuah bahasa yang dapat melawan kenyataan ini. Di akhir dari suatu waktu tertentu, seseorang dapat selalu mendemonstrasikan  perubahan-perubahan yang nyata.”[5]

Ahli bahasa Perancis, Andre Martinet mengulangi pemikiran yang sama lewat bukunya Elements of General Linguistics yang diterbitkan tahun 1964. Ia menulis,

“Untuk waktu sekarang kita hanya akan mencatat bahwa bahasa terus menerus berubah, tentu saja tanpa pernah berhenti berfungsi; dan setiap bahasa yang kita dekati untuk menggambarkan fungsinya, berada dalam proses modifikasi” (bahkan ketika kita sedang melihatnya). “Sedikit refleksi akan cukup meyakinkan kita bahwa ini benar untuk semua bahasa di setiap saat.”[6]

500 tahun lalu, saat melihat siapa yang ada di bawah ‘sebuah kerudung’, maka akan terlihatlah seorang biarawan. Tetapi hari ini yang kita temukan adalah sebuah mesin otomobil. Sebagai tambahan, sebuah ‘kerudung’ bisa jadi adalah seorang pencuri yang telah mencuri mobil.

Dalam bukunya Semantics and Common Sense, Louis B. Solomon, Professor bahasa Inggris di Brooklyn College menjelaskan hal ini secara tepat, bahwa … karena perubahan yang terus-menerus, hanya ada satu cara untuk mengetahui arti sebuah kata.

“Arti standar dari sebuah simbol verbal (kata) kapan pun adalah apa yang dilakukan oleh pengguna simbol itu terhadap kata itu pada waktu itu.”[7]

Sebagai kesimpulan:
Secara singkat bisa dikatakan bahwa sejalan dengan perkembangan, sekelompok kata mengalami perubahan arti sedangkan yang lain tetap sama. Ini berarti kita sekarang juga ikut memberi warna terhadap penentuan arti kata-kata yang dipakai dalam masyarakat, dan pemakaian bahasa merupakan suatu bukti apakah ada perubahan arti/makna atau tidak.

 

Pandangan yang Salah Kaprah Secara Etimologis

Dr. Solomon membahas falasi (kesilapan) etimologis pada kata-kata berikut:

Kesilapan etimologis adalah pendapat bahwa arti kata yang paling tua dari suatu kata mungkin pada kata-kata yang berasal dari bahasa Latin ataupun Sanskrit merupakan arti yang benar sedangkan arti-arti lainnya yang muncul kemudian hanyalah merupakan variasi.

Seringkali kita mencoba memberikan arti pada suatu kata dengan cara memahami arti yang dikandung pada kata dasarnya. Sebaiknya lebih baik kita bertanya kepada pemakai bahasa tersebut. Karena pada kata-kata tertentu terkandung arti yang sama sekali tak punya hubungan dengan pemakian bahasa sekarang ataupun di masa lampau.

Bila sebuah kata digunakan sekali saja misalnya dalam sebuah dokumen 500 tahun yang silam, atau pada sebuah batu tanah liat yang ditemukan di Babilonia. Dengan mengetahui arti yang lebih tua maupun yang lebih muda dari kata tersebut akan menolong untuk memahami arti yang dikandung oleh kata tersebut. Namun tak bisa untuk menemukan arti sesungguhnya dari suatu kata tertentu. Untuk menentukan arti suatu kata yang dipakai oleh umat Kristiani pada abad pertama atau suatu kata yang dipakai oleh kaum Muslimin pada abad ke 7, kita harus menelaah kata tersebut sesuai periode waktu yang bersangkutan.

"Ada semacam pedoman yang hampir tak pernah meleset, yaitu arti sesungguhnya yang terkandung oleh suatu kata ialah arti yang paling tua dari kata tersebut. Arti paling tua inilah yang paling jelas bisa dipakai dalam dunia sains sedangkan arti yang lainnya tidaklah bermakna dalam pengertian mereka hanya variant saja."

Sayangnya aturan/pedoman Dr. Bucaille juga bisa tak berlaku. Sebagai contoh misalnya pada kata tair (nasib) yang terdapat dalam surat Bani Israil 17:13 dari 1 al-hijriah yang bunyinya:

"Aku telah mengencangkan nasib semua manusia pada lehernya …"

Kata tair dalam kalimat tersebut mempunyai arti dasar burung, sedangkan arti yang lainnya adalah nasib.

Bangsa Arab seperti bangsa Romawi mencoba meramalkan masa depan dengan mengamati perjalanan terbangnya burung, maka kata tair kemudian mempunyai arti 'nasib jelek'.

Membaca kalimat Al-Quran tersebut dengan pengertian/pemahaman dasar "Allah mengikat nasib burungnya setiap manusia pada lehernya," bisa menjerumuskan.

Sebagai contoh lain kita ambil kata Yahudi rakhamah dari Kitab Ulangan 14:17 yang berasal dari akar kata rakham artinya cinta. Mungkin kita cenderung untuk mengartikan pencinta, misalnya, dalam kalimat atau ungkapan "sebuah rakhamah mengitari angkasa menunggu bangkai."

Arti kata rakhamah di sini adalah pemakan bangkai seperti yang tertulis dalam kamus. Jadi bila kita mengartikan kata tersebut dengan menggunakan arti yang terkandung dalam kata dasar, kita tak akan bisa memperoleh arti sebenarnya / yang benar yang dipakai sekarang.

Contoh ketiga, kita ambil kata alkohol yang berasal dari kata Arab al-kuhl yang berarti celak. Celak banyak dipakai oleh wanita Arab untuk memoles alis mata baik jaman dulu maupun sekarang.

Pada masa Romawi kata al-kuhl kemudian memiliki arti murni. Alkohol dibuat dengan cara distilasi oleh karenanya murni. Jadi dari sinilah diperoleh kata alkohol. Sekarang kata ini kembali ke arti semula / arti tuanya yang dalam bahasa Arab berarti alkohol atau al-kuhul. Kedua kata tersebut berasal dari akar kata yang sama dan keduanya sama-sama dipakai. Manakah yang lebih akurat secara ilmiah? Jawabnya sama saja.

Akhirnya untuk mengakhiri bahagian ini akan saya kutipkan terjemahan berikut:

"Setiap penulis dan pemikir sejati berhak menggunakan semua ilmunya dan pengalaman yang ia miliki untuk memahami Quran, namun ia tak boleh mencampurkannya." (Abdullah Yusuf Ali)

Hal ini dikarenakan oleh:

Kata-kata bahasa Arab dalam teks telah memperoleh arti baru, selain arti yang telah dipahami oleh para Rasul dan sahabatnya. Semua bahasa yang hidup selalu mengalami perubahan semacam itu. Para komentator Alkitab maupun al-Quran telah mengulas masalah ini dengan tuntas. Oleh karena itu kita wajib menerima kesimpulan yang mereka buat. Bila terjadi perbedaan pemahaman, kita tetap tak diperbolehkan untuk menggali arti yang baru. Namun kita bisa membuat interpretasi/penafsiran berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada.
 

Konteks kalimat seutuhnya

Kita telah membahas bagaimana memberikan arti suatu kata berdasarkan pemakainan dalam kalimat. Sekarang kita perlu membahas pentingnya menggunakan konteks kalimat seutuhnya dalam menentukan arti kata, frasa, maupun ayat-ayat lengkap dalam suatu dokumen tertulis.

Kita tahu bahwa sebuah kata bisa memiliki arti lebih dari satu makna. Dalam perbahasan kita tentang kata wizar, kita ketahui kata tersebut memiliki arti beban, dosa dan tanggung jawab. Namun apakah kata wizar dalam frasa berikut "wizar dari Sultan". Apakah artinya dosa Sultan atau tanggung jawab Sultan? Sulit kita menentukannya. Kita harus menggunakan kata tersebut dalam konteks kalimat seutuhnua. Karena arti yang benar yang terkandung dalam suatu kata hanya bisa diperoleh melalui konteks kalimat seutuhnya baik berupa kalimat lengkap, frasa, maupun alinea.

De Saussure menegaskan sebagai berikut:

"Bahasa adalah sistem yang terdiri dari kata-kata dan saling bergantung satu dengan yang lain, tak ada kata yang lebih penting dari kata yang lain karena arti seutuhnya ditentukan oleh gabungan dari makna kata-kata yang ada."

Solomon dalam hal ini menyatakan sbb:

"Kata tak pernah dipakai secara terpisah. Arti suatu kata ditentukan oleh konteks dalam kalimat, termasuk kata-kata lain yang terletak di kanan kirinya dalam suatu kalimat, alinea maupun wacana."
Untuk menentukan arti suatu kata yang dipakai pada tahun 1787, misalnya, kita harus menelah sumber-sumber tulis yang hidup dan digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan pada tahun yang sama. Dalam bukunya "God of Justice"

Dr. Daud Rahbar memberikan beberapa contoh kontek kalimat yang utuh, diambil dari surat al-Saffat 37-96 yang berbunyi:
a. Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan?
b. Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu buat?

Bagaimana kita menentukannya? Kita harus melihat konteks kalimat seutuhnya. Dari ayat sebelumnya, yaitu ayat 91 kita bisa memperoleh tambahan informasi. Baca kutipan lengkap berikut:

"Dan dia (Abraham) menghadap Allah serta berkata, "Mengapa kamu tak mau makan? Mengapa kamu tak mau bicara? Dan dia memukulnya dengan tangan kanannya.

"Muslimin yang hidup di kota berlari menuju kepada dia. Dia berkata, "Kamu menyembah patung ukiran buatanmu sendiri?" Dia telah menciptakan kamu, apa yang kamu ….." kerjakan? …….. buat?

Berdasarkan konteks kalimat seutuhnya dalam ayat tersebut di atas, kita tahu bahwa berhala buatan mereka sendiri merupakan makluk-Nya yang tak berguna, dan bahwa Dia telah menciptakan mereka beserta berhala yang mereka telah buat.

Dengan mengartikan ayat-ayat tersebut lepas dari kontek, Imam besar seperti Al-Ghazali memberikan arti sebagai berikut

"Dia telah menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan?" Jadi sekaligus mendukung arti yang dikandung dalam Al-Quran dari sudut pandang ta uff, yaitu, Dia sendirilah pencipta dari semua pekerjaan yang dilakukan oleh semua manusia.

Konteks Kalimat Keseluruhan
Kadang-kadang kita harus mengambil kalimat dalam kaitannya dengan kalimat-kalimat lain dalam suatu alinea maupun suatu wacana. Sebagai contoh kita ambilkan sebuah artikel dari Manar Al-Islam yang berjudul "The Apostle Was Known Before His Birth" oleh Prof. Hasan Abda-al-Fattah Katkat dari Yordan yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad sebelum dilahirkan. Prof. Hasan mengutip Kitab Ulangan 18:18-19 yang berbunyi:

"Aku akan memilih dari antara mereka seorang Nabi seperti dia (Musa). Aku akan berbicara lewat dia dan ia akan bercerita kepada mereka tentang segala yang Aku perintahkan kepadanya. Bila ada di antara umat yang tak bersedia/rela mendengarkan perkataanKu, maka Aku sendiri akan membuat perhitungan/memberi hukuman kepadanya."

Prof. Hasan juga mengutip Ulangan 34:10 yang berbunyi sbb"

"Sejak itu tak ada lagi Nabi seperti dia (Musa) yang muncul di Israil …"

Kedua kutipan tersebut kemudian disimpulkan sbb:
a. Dia berjanji untuk mengangkat Nabi lain seperti Musa.
b. Namun komentator sendiri pada akhir Kitab Ulangan menyatakan bahwa tak ada lagi Nabi yang dipilih Dia di Israil seperti dia (Musa).

Prof. Katkat kemudian berkata karena "tak ada lagi Nabi yang dipilih seperti dia (Musa) di Israil," kata dia mengacu pada keturunan Ismail, bukan Ishak dan (konon) ... inilah nubuat mengenai Nabi Muhammad!

Untuk dapat memperoleh pengertian yang benar kita harus belajar lebih banyak tentang bagaimana menggunakan ungkapan "dia" dalam Kitab Taurat, dan bagaimana Nabi Musa diriwayatkan. Dari konteks kalimat seutuhnya, kita temukan tambahan informasi lain. Ulangan 18:15-19 berbunyi sbb:

"Dia (Allah) akan memilih seorang Nabi seperti dia (Musa) dari antara kerabatnya. Karena inilah yang dia (Musa) di Horeb (gunung Sinai) pada jari penghakiman, minta waktu dia (Musa) berkata, "Mari kututup telinganmu karena dia akan mati." "Dia (Allah) berkata kepada dia (Musa) bahwa apa yang dia katakan adalah baik. Aku (Allah) akan memilih seorang Nabi seperti Musa dari antara kerabatnya sendiri; Dia (Allah) akan berbicara lewat Musa dan dia akan memberitakan semuanya kepada umat Muslimin."

Bilamana kita tambahkan ayat-ayat tersebut kita tahu bahwa dia (Musa) berbicara kepada Bani Israil yang telah mendengar suara Dia (Tuhan) di gunung Sinai dan Dia (Tuhan) berkata akan mengabulkan apa yang dia (Musa) minta. Oleh karena itu ungkapan "kerabat dia" hanya mengacu pada kerabat kaum Yahudi yang secara kebetulan hadir di Horeb (gunung Sinai). Dari bab sebelumnya, penggunaan ungkapan "dari antara karib dia" menjelaskan arti yang terkandung dalam ayat 17:14-15 yang bunyinya sebagai berikut :

"Bila dia memasuki tanah perjanjian Dia (Tuhan) … dan dia (Musa) berkata, Mari aku angkat seorang raja seperti bangsa/suku lain disekitarmu. Dia harus dari antara kerabatmu sendiri, Jangan memilih yang lain."

Di sini ungkapan "dari antara kerabatmu sendiri" jelas mengandung arti saudaramu sendiri.
Selanjutnya pada sebuah surat Mekka akhir, yaitu Al-Araf 7:65,73 yang berbunyi; "Dan kepada bani Aad di akiram Hud, kerabat dia (Muhamad). Ia berkata, "Rakyatku, sembahlah Dia (Allah) …" dan kepada Thamud, dia kirim Salih."

Dalam terjemahan bahasa Perancis, Muhammad Hamidullah memberikan catatan kaki berikut :

"Kata akh merujuk pada kerabat dalam suku yang sama/satu suku atau seihk". Kata Yahudi kerabat juga akh yang juga bisa berarti saudara dalam seihk yang sama.

"Dalam ayat di atas yang diambil dari Kitab Ulangan, kata akh juga digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu kerabat dalam satu seikh. Jelas Dia (Tuhan) berkata kepada Bani Israil bahwa Dia sendiri akan memilih seorang Nabi dari antara kerabatnya, dari seihknya sendiri, yaitu dari bani Ismail.

Bila kita membaca ayat kedua dari kitab Ulangan 34:10-12, kita temukan bahwa konteks kalimat seutuhnya memegang peranan yang sangat penting untuk pemahaman kandungan ayat-ayat suci yang lebih baik."

"Semenjak itu tak ada Nabi yang dipilih di Israil seperti dia (Musa) dimana Dia sendiri menampakkan wujud dan melakukan mujizat dan keajaiban Dia (Allah) di Mesir di hadapan raja Firaun dan seluruh pegawai kerajaan dan seluruh rakyat Mesir."
Kitab Taurat, Bilangan 12:6-8 selanjutnya menerangkan sbb:

"Dan Dia sendiri berkata, "Dengarkan kata-kataku. Bilamana ada Nabi yang dipilih Dia (Allah) dari antara kamu, Dia sendiri akan menampakkan wujud kepada dia dalam mimpi dan Dia akan berbicara sendiri kepadanya dalam mimpi. Tak demikian halnya bagi pembantuKu (dia/Musa). Kepada dia (Musa) Dia sendiri memberikan wahyu vis-a-vis."

Pemahaman terhadap ayat-ayat suci lebih mudah dilakukan melalui konteks kalimat secara utuh. Ayat di atas menggambarkan dia (Musa) sebagai satu-satunya Nabi yang dipilih oleh Tuhan sendiri secara vis-a-vis sampai periode itu, dan kepada dia (Musa) Tuhan memberikan wahyuNya secara lisan.

Di sini sekali lagi kita temukan bahwa Quran menegaskan kebenaran Alkitab seperti yang tertulis dalam surat al-Nisa (wanita) 4:163-164 dari 5-6 hijriah yang bunyi sbb:

"Dia (Allah) telah memberikan kepada dia (Muhammad) wahyu, seperti Dia sendiri memberikan wahyu kepada Nabi-nabi lain sebelum dia termasuk nabi Nuh. Dia sendiri memberi juga wahyu kepada Abraham, Ismail, Ishak dan Yakob. Juga kepada Isa, Ayub, Yunus, Harun, Solomon, dan kepada dia (David) Dia sendiri memberi Mazmur …"

Dan kepada dia (Musa), Dia (Allah) berbicara kepadanya vis-a-vis. Nabi Musa termasuk dalam golongan tersendiri diantara nabi-nabi lainnya karena kepada dia sendiri saja Dia (Tuhan) memberikan wahyu vis-a-vis.

Bahwa dia (Muhamad) menentang keras terhadap penyembahan ilah lain diketahui oleh semua penghuni Kabah. Namun A-Quran sendiri tak memberitakan bahwa dia (Muhamad) melakukan keajaiban seperti dia (Musa) atau Dia sendiri memberi wahyu kepadanya vis-avis.

Karena itu, Prof. Katkat jelas telah menyimpangkan arti yang terkandung dalam Taurat dan Quran dengan cara mengabaikan konteks kalimat secara keseluruhan dalam pemahamannya terhadap ayat-ayat suci al-Quran dan Taurat. Sebagai misal, dalam ayat-ayat di atas oleh Prof. Katkat dinyatakan bahwa yang dibicarakan/dimaksudkan adalah dia (Muhammad ) bukan dia (Musa).
 

Kesimpulan

Oleh karena itu satu cara terbaik untuk pemahaman ayat-ayat al-Quran dan Taurat ialah dengan menggunakan konteks kalimat seutuhnya. Sebagai misal abad pertama AD sebagai konteks seutuhnya bagi pemahaman ayat-ayat dalam Perjanjian Baru dan abad pertama hijriah sebagai konteks keseluruhan bagi pemahaman ayat-ayat suci al-Quran.

Oleh karena itu bila kita mengutip ayat-ayat suci baik dari al-Quran maupun al-kitab, kita harus melakukannya dengan menggunakan konteks keseluruhan.

Kejujuran juga perlu dipertimbangan. Sebagai misal, saya sendiri sebagai seorang Kristiani secara jujur akan mengakuinya bila saya mengutip satu atau beberapa ayat suci dari Al-Kitab. Seorang Muslimin juga dituntut untuk melakukan hal serupa bila dia mengutip satu atau beberapa ayat dari Al-Kitab. Sama halnya dengan bila dia mengutip sebagian atau keseluruhan dari suatu ayat atau beberapa ayat suci al-Quran.

Mengubah arti suatu kalam Allah baik disengaja maupun tidak ,bisa mengakibatkan kesalahan yang fatal. Sebagai misal ekspresi "kalamNya (Allah)" berubah menjadi "kalam dia". Hal seperti ini merupakan suatu al-tahrif al-manawi, suatu jenis penipuan yang banyak dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap ayat-ayat suci al-Quran Karim. Jenis penipuan ini juga sering disebut dengan istilah al-shirik, yaitu menyamakan diri sendiri dan pandangan sendiri dengan Dia (Allah).

Oleh karena itu, bila kita mengutip satu atau beberapa ayat-ayat suci al-Quran baik sebagian maupun seluruhnya perlu dipertimbangkan konteks kalimatnya secara seutuhnya.

Asumsi dasar pertama pernyataan Dr. Bucaille tentang objektivitas seutuhnya.
Yang ganjil "Objektivitas seutuhnya" dan pandangan tanpa curiga yang mendasarinya untuk mengkaji al-Quran … Ia mengulangi pengkajian sama terhadap Perjanjian Lama dan Injil, selalu menekankan objektivitas seutuhnya.

Menurut Bucaille hal ini bisa dilakukan dengan berangkat dari fakta, bukan konsep metafisik dan dengan metoda induktif tanpa menggunakan pre-suposisi. Namun dalam hal ini penemuan-penemuan dalam ilmu-ilmu sosial pada abad 20-an yang tak bisa lepas dari unsur interpretasi sulit dilaksanakan. Bahkan dalam buku tulisan Kuhn, yang berjudul Struktur Revolusi Sains dinyatakan bahwa dalam sains pun penafsiran yang dipengaruhi oleh pengalaman metafisik masing-masing individu yang bersangkutan.

Dr. Kuhn mengatakan sbb:

"Filsuf ilmu pengetahuan berulangkali menyatakan bahwa satu kerangka teoritis atau lebih selalu bisa dilandasi dengan data yang ada."

Para sarjana sebelumnya juga telah mengenal kenyataan tersebut diatas. James Orr, misalnya, dalam mengutip pernyataan seorang Teolog Jerman, Biedermann, pada tahun 1905 mengatakan bahwa:

'Kritik terhadap sains dan sejarah memerlukan asumsi dasar… dan pada penilitian historis selalu diperlukan semacam batasan sepanjang bisa dilakukan. Pada penelitan yang dilakukan oleh mahasiswa, batasan definisi ini merupakan pre-suposisi dogmatik.'

Dr. Bucaille sendiri dalam membatasi pemahaman objektivitas seutuhnya telah mengabaikan beberapa pre-suposisi. Berikut ini merupakan empat asumsi dasar Bucaille:

1. Sains merupakan tuluk ukur dari segalanya. Asumsi pertama ialah kebenaran dalam AlKitab dan sains merupakan tolak ukur primer bagi keabsahan isi kandungnya. Asumsi ini mengandung pengertian bahwa sampai sejauh mana pengiyaan dan akurasi ilmiah terhadap isi kandungan AlKitab dan sains bisa kita terima?

Ilmu pengetahuan telah banyak mengalami perubahan dan Dr. Bucaille juga mengakui kenyataan tersebut. Berangkat dari hal ini, ia menggunakan batasan definisi berikut sebagai landasan bagi penulisan bukunya.

"Data ilmiah yang dipakai adalah data mapan, sehingga tak lagi memerlukan penjelasan teoritis. Sains, bila hanya bisa memberikan kontribusi yang tak lengkap dalam bentuk fakta, maka fakta tersebut diperlakukan sebagai data yang mapan dan bisa dipergunakan dengan tanpa rasa takut salah."

Kita mulai diskusi ini dengan membicarakan pengertian sains menurut Bucaille. Kata science/sains berasal dari bahasa Latin scientia yang artinya 'tahu'. Oleh karena itu penggunaan kata sains mencakup semua aspek kehidupan yang harus kita ketahui, tidak hanya terbatas pada siklus air, astrofisika dan ilmu mudigah.

Lebih lanjut Bucaille menjelaskan batasan definisinya sebagai berikut:

"Sains tidak mencakup secara tuntas permasalahan-permasalahan yang ada dalam bidang agama."

Dalam hal ini saya pribadi tak setutju dengan pandangan Bucaille. Alasan utama saya membaca bukunya ialah mencari kebenaran agama. Itulah sebabnya saya menulis buku ini.

Sebuah pertanyaan yang sangat mendarat: "Adakah Tuhan?" Bila ada, bagaimana saya bisa tahu dan berhubungan denganNya?" Buku-buku biologi maupun kimia bisa jadi tanpa cacat, namun buku-buku tersebut tidak memberikan petunjuk kepada kita tentang keberadaan Tuhan. Kadang-kadang sains dan agama berbenturan. Sebagai misal pembicaraan Bucaille tentang bintang, planet dan menembak bintang yang terdapat pada halaman 156-158.

Lebih lanjut Bucaille mengutip sebuah ayat suci al-Quran dari surat al-Saffat 37:6 yang berbunyi:

"Dia (Tuhan) memuji surga lapis paling bawah berserta keindahannya termasuk planet-planet yang ada …"

Untuk dapat memahami ayat suci al-Quran di atas, diperlukan pemahaman terhadap konteks kalimat seutuhnya. Dari ayat 7-10, bisa diperoleh tambahan informasi berikut:

"Dia (Tuhan) memuji surga lapis paling bawah beserta keindahannya termasuk planet-planetnya, dan Dia sendiri menjaga bumi beserta semua isinya dari serangan iblis, kejaran kilat api, dan Dia sendiri didampingi ruh halus menghardik iblis dengan melempari batu padanya."

Bucaille memahami arti ayat-ayat suci tersebut di atas menjadi kabur pemahamannya bila dipahami dari pendekatan ilmu pengetahuan.

Apakah kerumitan ini disebut masalah dari pandangan sains? Yang jelas ini merupakan masalah nyata, dan masalah pemahaman terhadap kebenaran tersebut tak bisa diselesaikan hanya dengan mengatakan: masalah itu diluar pembahasan kita, atau pemecahan berlandaskan al-Quran tak jelas alias kabur.

Untuk itu pembaca budiman diwajibkan untuk membaca buku berikut: Alkitab, al-Quran dan Sains. Buku ini membahas masalah-masalah mendasar yang sering muncul dalam diskusi antara Muslim dan umat Kristiani. Disamping itu, masalah yang berkaitan dengan fungsi sains dalam kehidupan modern kaum Muslimin dan Kristiani juga dibicarakan/disinggung.
 

Tolak Ukur yang dipakai dalam AlQuran dan Alkitab Adalah Tak Sama

Alkitab dituntut untuk berbicara dalam bahasa abad 20.
Dr. Bucaille coba menganggap Kitab Suci sebagai dokumen sains, ia menggunakan tolak ukur abad 20. Ayat yang tidak bisa diterima dari sudut pandang sains, maka secara otomatis ayat tersebut tidak diturunkan dari wahyu. Segala sesuatu yang tak masuk akal dianggapnya sebagai suatu kesalahan. Kecuali jika Kitab Suci dibenarkan oleh sains modern, maka itu bukan merupakan firman Tuhan dan karena itu sukar untuk diterima sebagai dokumen historis dan Kitab Suci. Maka tak diperlukan adanya saran, tak perlu penjelasan lebih lanjut. Tak juga diperlukan prinsip harmoni. Karena semua ini merupakan cara pembenaran yang licik. Metoda penilaian seperti ini disebutkan sebagai Pendekatan Konflik, pendekatan yang bertolak dari pandangan negatif terhadap Kitab Suci.

"Al-Quran dapat berbicara dalam bahasa abad 20."
Sains modern dianggap sangat penting dan merupakan pengetahuan utama, dan ini ditegaskan dalam al-Quran. Dr. Bucaille mengutip surat 79:27-33 yang bunyinya sebagai berikut:

"Hadiah dari Dia (Allah) kepada umatnya berlimpah ruah, dinyatakan dalam bahasa sederhana kususnya bagi petani dan suku Nomaden di jazirah Arab, dan ini telah diwahyukan terlebih dahulu dalam al-Quran."

Bucaille selanjutnya berkata kesalahan sedikit dalam interpretasi tidak jadi soal sama seperti bila ia mengutip ayat-ayat dari al-Kitab sejalan dengan keadaan waktu itu yang pre-sains. Pendekatan semacam ini disebut konkordis. Pendekatan ini menekankan persamaan yang dijumpai dalam sains dan al-Quran. Bucaille mengatakan al-Quran tak ada masalah untuk menggunakan pendekatan kondordis. Sebagai misal, menterjemahkan satu kata saja bisa rumit tapi tak menjadi soal. Ekspresi 'menembak bintang' misalnya.

Oleh karena itu mudah mengetahui bagaimana selama berabad-abad lamanya para pembuat kritik termasuk mereka yang hidup di masa kejayaan Islam telah membuat kesalahan interpretasi/penafsiran terhadap pemahaman ayat-ayat suci al-Quran tertentu yang sebenarnya belum mampu digali. Baru beberapa selang waktu kemudian dimungkinkan untuk menterjemahkan dan membuat intepretasi yang benar. Bucaille menyatakan bahwa pengetahuan kebahasaan yang mendalam saja belum cukup bagi pemahaman ayat-ayat al-Quran. Bila kita mencoba menjawab pertanyaan termaktub, maka pengetahuan sains modern menjadi penting bagi pemahaman ayat-ayat al-Quran diatas. Selanjutnya ia berkata:

"Ini berarti dahulu, manusia baru mampu membedakan makna harafiah yang membuatnya dia menarik sebuah atau beberapa kesimpulan yang salah dari jasa sains."

Dalam usahanya mengatasi keadaan pelik ini, Bucaille mencoba menggali arti baru dari sejumlah kata dalam bahasa Arab untuk menyelaraskan dengan menggunakan jasa sains modern. Banyak mahasiswa Islam, kususnya dalam bidang sains tertarik pada usaha Bucaille untuk menjembatani kesenjangan yang timbul akibat salah asumsi, yaitu Muslimin ortodoks dianggap menguasai bahasa, budaya dan tatabahasa Arab yang menunjang dalam pemahaman terhadap ayat-ayat suci al-Quran dibandingkan mahasiswa Muslim dari jaman sekarang, kususnya dari Eropa, asumsi ini janggal karena al-Quran ditulis dalam bahasa Arab Kuraishi yang mudah dipahami oleh mahasiswa Arab. Ternyata asumsi ini benar.

 

Hasil penelitian

Pembaca yang baik hati tahu apa yang mereka butuhkan dan perlukan. Bila dia membaca al-Quran atau Kitab dengan beranjak dari asumsi bahwa membaca berarti tidak untuk mencari kesalahan. Dengan perkataan lain dia tak akan membaca al-Quran dan/atau Kitab dengan rendah hati dengan mengharapkan ridho dari Dia (Allah). Dengan perkataan lain, ia menggunakan pendekatan kondordis. Oleh karena itu akan sedikit kesalahan yang dijumpai atau dihadapinya.

Dr. Bucaille sendiri menggunakan pendekatan konflik untuk membaca Alkitab tetapi sebaliknya dia sengaja telah menggunakan pendekatan konkordis untuk membaca al-Quran. Sebagai contoh sikapnya terhadap diskusi mengenai hari penciptaan dalam Kitab Suci yang ditulus pada Bab 1 dan berbunyi sebagai berikut:

"Tahap penciptaan bumi beserta isinya memerlukan waktu selama satu minggu tidak masuk nalar dari sains modern. Karena sebenarnya pembentukan bumi beserta isinya memakan waktu lama sekali. Namun lamanya waktu proses kejadian dalam Kitab Suci tak disebutkan dalam al-Quran. Jadi menurut dia pandangan gerejawai mengenai kejadian seperti yang termaktub dalam Kitab Suci tak bisa diterima."

Selanjutnya Bucaille menyatakan dalam bab III-nya, saat ia membahas masalah serupa namun kali ini dia menggunakan pendekatan konflik. Ia berkata

"Kata hari dalam kitab dimaksudkan jangka waktu antara 2 kali matahari terbit atau 2 kali matahari terbenam."

Pada halaman berikutnya ia membahas kata Arab "yaum" untuk mengacu pada kata hari dan dua ayat dari Quran yang bisa berarti jangka waktu tertentu. Ia menulis demikian:

"Arti ekspresi kurun waktu yang terkandung dalam kata yaum terdapat dalam Quran yaitu 1000 tahun (surat 32:5). Sedangkan ayat sebelumnya yaitu surat 70:4 menyatakan bahwa penciptaan berlangsung selama 6 hari dan sama dengan kurun waktu (yaum) 50,00 tahun,"

Sedangkan surat al-sajda 32:4-5, Mekkah pertengahan dinyatakan bahwa Dia (Allah) sendirilah yang menciptakan langit dan segenap isinya dalam waktu 6 hari.

"Tak ada ilah lain kecuali Dia (Allah) bagimu untuk berlindung. Mengapa kamu tak menerima keagungannya? Dia (Allah) adalah pengatur dunia seisinya. Akhirnya semua persoalan di bumi akan diselesaikan oleh Dia sendiri dalam yaum 50.000 tahun."

Yaum artinya jangka waktu dari semenjak kejadian dalam Kitab suci hingga masa penghakiman dunia dengan segenap isinya.

Aya-tayat tersebut di atas menunjukkan bahwa kata yaum digunakan dalam pengertian kurun waktu. Hal ini dimungkinkan untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi diantara sains dan al-Quran.

Bila Bucaille menghendaki kata yaum dipakai sebagai kalam Allah, ia seharusnya tak perlu pengutip ayat berikut dari kitab suci.

"Dengan sabda Tuhan yang sama langit dan bumi seisinya menanti hari penghakiman. Jangan lupa karib, dimata Dia (Allah) satu hari sama dengan 1000 tahunnya Dia, dan seribu tahunnya Dia sama dengan 1 hari Dia (Tuhan)."
(diambil dari II Petrus 3:7-9)

Dalam bukunya yang berjudul Kitab Kejadian dan Asal Usul Bumi, Newman dan Eckelman menulis demikian:

"Kata Yahudi yom tidak sepadan dengan kata hari dalam bahasa Indonesia. Yaum artinya aktivitas dalam kurun waktu (aktivitas bumi and isinya) tertentu berdasarkan musimnya." (Kejadian 2:4, Pengkotbah 12:3)

Mengapa dia menghilangkan ayat-ayat kitab suci di atas? Dalam Kejadian 2:4 dinyatakan 6 hari kerja dan 1 hari istirahat. Ayat lain berbunyi sbb:

"Inilah urutan masa penciptaan bumi, langit dan segenap isinya yaitu 6 hari kerja dan satu hari peristirahatan. Jadi 7 hari penciptaan."

Dalam Pengkhotbah 12:3 Dia berkata:

"Pada waktu hari penghakiman tiba seluruh penghuni rumah gementar dan orang perkasa akan merunduk, penggiling berhenti bekerja, dan mereka yang melihat keluar jendela akan digelapkan penglihatannya."

Ayat diatas bersifat alegoris. Dalam bahasa sekarang, bunyinya kira-kira begini:

Akan datang hari penghakiman (yaum) di mana anggota badannya akan gementar karena usianya telah lanjut dan kakinya yang dulu kuat akan dilemahkan … dsb.

Di sini kata hari berarti usia lanjut.

Kata yaum yang diartikan kurun waktu menurut dia (Bucaille) bukan makna baru. Pada abad ke 4, kata Yahudi serupa yaitu yom telah dipakai oleh Santa Agustinus. Menurut dia (Santa Agustinus) kata yom memiliki pengertian hari penciptaan bumi dan langit beserta segenap isinya. Yom merupakan hari besar dan suci, oleh karena itu dianggap sebagai hari Dia (Allah).

Buku Sains Modern dan Iman Kristen yang terbit tahun 1948 menyatakan sebuah teori yang disebut teori usia lanjut yang dalam bahasa asing (Inggris) sering disebut dengan istilah "day-age theory."

Buku tersebut ada kemungkinan belum terbaca oleh Dr. Bucaille. Demikian pula buku-buku berikut ini:
Nubuat Nabi Yang Penting (terbit 1955), dan edisi aslinya terbit dalam bahasa Perancis.

Menurut dia (Marie) yang dikenal sebagai bapak umat Kristiani yang dinyatakan dalam bukunya, Alkitab, al-Quran dan Sains (aslinya dalam bahasa Perancis) sebagai berikut:

"Kata yaum (bahasa Arab) dan Yom (Yahudi) tidak identis." Adapun acuan yang dipakai untuk menopong ide tersebut adalah bersumber dari aliran Yahudi yang tokohnya adalah Andre Nehar:

"Kata Yom memiliki tiga arti sebagai berikut. Satu: cahaya (referensi kejadian). Kedua: kosmos sepertinya binari sistem (terang-gelap). Ketiga: astronomi (2 kali matahari terbit/terbenam)"

Pada bidang lain dia (Andre Naher) memakai kata Yom dengan pengertian kurun waktu kronometrik, yaitu: kemarin, sekarang, besok dan lusa. Itulah sebabnya dia memakai kata Yom dalam penulisan Alkitab. Disini 7 hari kerja (penciptaan) merupakan urutan waktu kerjadian secara kronometrik, bukan berdasarkan prinsip astronomi.

Sebagai kesimpulan dia (Bucaille) telah memilih untuk beranjak dari pandangan negatip dalam pemahaman Alkitab. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara Alkitab dan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, dia-Dr. Bucaille telah menggunakan pendekatan konflik.
 
Air dan Kabut
Sekarang kita telah memperhatikan sebuah ayat atau lebih sebagai contoh lain kesenjangan yang terdapat diantara Alkitab, al-Quran dan Ilmu pengetahuan (Ilmiah) akibat penggunaan pendekatan konflik vs. konkordis oleh Dr. Bucaille dalam satu sisi dan Dr. Newman dan Eckelman di pihak lain.

Dr. R.C. Newman memperoleh PhD dalam astrofisika dari University Cornell dan MA dalam Teologi dari Seminari AlKitab. Dr. H.J. Eckelman pula seorang peneliti muda dari Pusat Penelitian Radiofisika dan Ruang Angkasa di Universiti Cornell, dan MDiv. dari Seminari Alkitab.

Bukunya yang berjudul ‘Kejadian dan Asal Mulanya terbentuknya Bumi' merupakan sumber informasi sains modern dan mengandung argumen yang penuh nalar. Latar belakang pendididkan dan pengalaman kerja dan penelitian mereka dalam bidang studinya, yaitu astrofisika dan Alkitab membuat tulisannya sungguh-sungguh bermutu. Berikut ini beberapa ayat dari Kitab Taurat dan bandingkan pendekatan konflik dan konkordis yang dipakai oleh Bucaille.

Air: Kitab Taurat – Kejadian 1:1-2

"Pada mulanya Dia (Allah) menciptakan bumi dan langit. Bumi tak berbentuk, kosong, dan gelap. Sang Kalam bergerak mengitari permukaan laut."

Pendekatan Konflik
- Bucaille

  • Keempat bagian ayat dari surah 21 itu mengandungi beberapa pandangan mengenai keberadaan gas yang menyelubungi Bumi.
  • Keadaan ini semacam itu disebut dukhan.
  • Kabut terdiri dari gas, partikel halus termasuk benda padat dan cair pada suhu tinggi maupun rendah.
  • Matahari dan Bumi menurut sains terjadi daripada proses kondensasi dan penguraian nebula primer yang menghasilkan fusi yang bermula dari kabut.

Jadi tidak terdapat kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan al-Quran.

 

Pendekatan Konkordis
- Drs.Newman & Eckelman

  • Pada mulanya, langit dan Bumi diselubungi kabut yang terdiri dari partikel organik.
  • Jadi jelas salah, karena pada awal adanya kabut dan tidak ada unsur organik.
  • Lagi pula nebula terlalu kecil untuk dianggap sebagai planet ruang angkasa.
  • Disamping gas, dan kabut ayat2 al-Quran di atas menyebut gunung yang menjulang tinggi dan makanan bagi penduduk Bumi.

Jadi JELASLAH, hal ini salah dan tak masuk nalar.

Jadi apa hasil pengkajian kita? Newman dan Eckelman menyatakan air seperti dalam Kejadian 1:2 dalam kitab Taurat menunjuk pada gas primordial. Menurut Dr. Bucaille ini merupakan kesalahan besar

Dalam Surat 41 al-Quran diberitakan bahwa kabut mengacu pada gas primordial. Penganut pendekatan konflik menurut dia (Bucaille) menyatakan ini merupakan kekeliruan besar.

Untuk bisa menentukan mana yang lebih benar di antara interpretasi tersebut di atas, diperlukan pengetahuan lanjut terhadap bahasa Yahudi dan Arab. Sayangnya tujuan utama penelitian ini bukan untuk menilai sah atau tidak sebuah atau beberapa interprestasi, melainkan menentukan adanya pengaruh bias yakni prasangka kepada satu pre-suposisi atau lebih.
Bila dia (Bucaille ) ingin memakai kata 'kabut' dalam pengertian gas primordial, maka ia tak punya alasan untuk menolak Newman dan Eckelman yang menggunakan kata udara (air) dalam pengertian gas. Dengan kata lain tetap terjadi adanya bias (yaitu prasangka/asumsi yang tidak terbukti).

Saya tetap pada pendirian pribadi saya, yaitu keputusan menjadi Kristiani adalah benar. Oleh karena itu lelucon yang anak perempuan saya peroleh dari kampus mengandungi lebih banyak kebenaran.

"Ilmuwan seharusnya selalu menyatakan pendapatnya berdasarkan fakta."

Bias memang selalu ada, namun harus dihilangkan dalam penelitian ini. Perhatikan kutipan ini (dari pernyataan koleka):

"Bila seorang Muslimin ataupun Kristiani menyatakan dirinya sudah ilmiah dan objektif, maka bahayalah dia (orang tsb). Berbahaya karena merugikan dirinya. Dia menderita delusi dan dirinya penuh prasangka."

Bila dia (si-penulis) memperlihatkan bias, yaitu hanya mengutip sebagian dari pernyataan di atas, maka ia melupakan kebenaran. Dan kalau saya menentangnya (kolega dia) dengan mengutip ayat-ayat al-Quran lain yang berbicara tentang masalah serupa, maka dia (penulis) telah membelokkan kebenaran.

Kita tak boleh patuh pada kebenaran lanjut yang diterapkan di universitas. Sebagai contoh, baca ayat Quran berikut:

"Bila bukti tak secocok dengan teori, maka ia (bukti tadi) harus dibuang atau direvisi."

Bias harus dibuang jauh-jauh. Oleh karena itu pendekatan konflik harus ditinggalkan total.
Tentu saja sikap ini termaktub dalam kata-kata berikut ini (oleh dia/Isa Al-Masih):

"Lakukan hal sama kepada mereka seperti mereka telah melakukannya kepadamu." Dan ketika ia mengutip ayat dari kitab TauratNya (Isa) berkata: "Cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri".
 

Asumsi Lanjut Tentang Kitab Suci

Dr. Bucaille menganggap bahwa hipotesa Kitab Suci mengenai asal usul dan perkembangan Kitab Taurat adalah benar adanya. Hipotesa ini hidup subur sekitar tahun 1890, berlandaskan pandangan (asumsi/bias) berikut:

A. Adanya evolusi dalam agama, misalnya, perubahan dari politeisme menjadi monoteisme. Akibatnya Perjanjian Lama dianggap sebagai produk kesadaran beragama bagi kaum Yahudi, tak ada sangkut pautnya dengan Dia (Tuhan) yang telah menampakan diriNya melalui malaikat ataupun roh suci.

B. Kitab Taurat membicarakan adat-istiadat Abraham, seperti: menikahi ipar perempuannya sendiri, yaitu Sarah dan menampakkan istri tuanya Hajar yang dulunya merupakan budaknya. Cerita-cerita tentang Abraham, Ishak dan Yakob yang sering disebut patriach bukanlah sejarah - melainkan dongeng dan mitos belaka.

C. Musa dan kaum Yahudi tak bisa menulis karena belum ada alat tulis.

D. Oleh karena itu Kitab Taurat (yang terdiri dari 5 buku) tidak ditulis oleh Musa pada tahun 1400 atau 1300 SM, seperti berulangkali dinyatakan dalam AlKitab dan al-Quran, melainkan 1000 tahun kemudian atau sekitar 400 SM oleh seorang penulis yang tak dikenal namanya, Dengan perkataan lain penerbit menggunakan nama lain, yaitu nama dia (Musa),

E. Disamping itu penulis tersebut percaya akan mujizat baik mujizat Nabi Musa maupun Isa dan juga pada nubuat nabi yang menyatakan bahwa dia (Tuhan) menampakkan diri-Nya seperti yang diberitakan dalam AlKitab, yaitu menyatakan diri dalam/sabda. Menurut dia (penulis tak dikenal namanya) tak pernah berbicara kepada Musa maupun Isa vis-avis. Umat yang telah belajar Quran secara katam menurut dia (penulis tadi) tak akan percaya bahwa dia (Allah) pernah berbicara vis-avis kepada Nabi Muhammad.

Menurut dia (penulis buku) ketidak percayaan pada mujizat dan nubuat nabi merupakan landasan dasar dari hipotesa ini.

Bucaille mengutip pendapat berbagai sarjana Katolik yang mendukung hipotesa ini termasuk J.P.Sandroz, profesor di Dominican Faculties, Saulchoir, R.P. de Vaux, Direktur Sekolah Alkitab di Yerusalem, Pater Kannengresser dari Universitas Katolik Paris, dsb.

Dia (penulis) tak bersedia menyatakan bahwa para sarjana tersebut di atas menyangkal adanya mujizat, hal ini tertulis pada bagian pengantar yang ditulisnya. Sebagai contoh, mujizat kelahiran Isa tanpa seorang ayah.

Apa yang dia (penulis) katakan ialah para teolog Protestant tersebut mengembangkan hipotesa tadi berlandaskan asumsi bahwa mujizat tak mungkin terjadi.

Dia (Bucaille ) tak salah bila dia marah kepada mereka (pendeta) Protestan maupun Katolik yang mengutip Musa, dan Dia (Isa) seolah-olah yakin bahwa dia berbicara atas karunia Allah, dan kemudian menulis artikel yang menyatakan dia sendiri tak percaya adanya mujizat sama sekali.

Secara jelas dia (Bucaille ) tak setuju dengan hipotesa ini. Menurut dia kita harus mengkaji beberapa bukti dan alasan mengapa salah dan tak valid seperti yang ditulis pada Bab 1 Bagian 3. Namun sebelumnya, kita perlu lebih dulu mengkaji apa pandangan Quran tentang Kitab Suci. Pembahasan ini diperlukan sebagai dasar supaya pembaca memberikan penilaian sendiri. Tidak seperti dia (Bucaille ) yang menyangkal kebenaran kedua-dua Quran dan Kitab Suci.

 

BAGIAN II BAB I

 

Pandangan Al-Quran tentang Al-Kitab

Seorang Kristiani biasanya akan mengutip sebuah ayat atau beberapa ayat dari Alkitab untuk menyakinkan imannya dalam membela Alkitab dan dirinya terhadap argumen yang dilontarkan oleh muslimin dalam sebuah diskusi keagamaan.

Seringkali tuduhan bahwa umat Kristen konon telah "mengubah Alkitab" dilontarkan terus-menerus oleh pihak lawan bicara. Pihak Muslim biasanya menggunakan kata "harafa" (harafiah) yang maksudnya ialah umat Kristen telah memahami ayat-ayat al-Quran secara apa adanya, tanpa melihat konteks dalam kalimat seutuhnya.

Oleh karena itu dalam bab ini kita akan mengkaji secara mendalam tentang pandangan Al-Quran terhadap Alkitab, kususnya Kitab Suci Injil Isa, Zabur dari Daud, dan Kitab Taurat bawaan Musa.

Pertanyaan sah yang sering dikemukakan ialah "Bagaimana seorang non-muslim bisa melakukan pengkajian yang valid terhadap Al-Quran?"

Saya pribadi merupakan orang pertama yang setuju terhadap keberatan akan pengkajian ayat-ayat Al-Quran secara harafiah oleh pihak luar (non-Muslim). Perkajian secara harafiah semacam ini banyak terjadi disebabkan oleh adanya asumsi bahwa Al-Quran ditulis dalam bahasa Arab yang sederhana (arabiyun mubinun) sehingga mudah dipahaminya baik oleh kaum Muslimin maupun non-Muslimin.

Kami akan melihat seluruh ayat-ayat yang membahas pandangan Quran terhadap Alkitab dan mengkajinya berdasarkan konteks kalimat seutuhnya, Walaupun kadang-kadang ayat-ayat muncul dalam konteks kalimat yang tak lengkap, kita tetap harus memhaminya dari kontek seutuhnya baik dalam kalimat, alinea, maupun wacana,

Penulis Muslimin sudah mengenal perlunya kajian semacam ini. Dalam bukunya "God of Justice", Dr. Daud Rahbar menyatakan dalam kata pengantarnya sbb:

"Bila kita membuat Tafsir tentang Al-Quran ataupun Ta uh, persyaratan utama yang harus kita memiliki ialah pengetahuan yang memadia tentang arti Al-Quran bagi Nabi Muhamad S.A.W dan umat muslimin dalam konteks historis zaman itu.."

Daud Rahbar selanjutnya mengatakan bahwa selama ini sebagian pembuat kritik Kitab Suci Al-Quran tidak membuat kritiknya berdasarkan konteks kalimat seutuhnya. Berikut ini merupakan sebuah contoh yang jelas yang diungkapkan oleh dia (pembuat kritik) mengenai Al-badiawi dalam mencoba memahami ekspresi berikut "earth and heaven".

Bumi disebut terlebih dahulu karena bila kita memanjat, kita bergerak dari bawah ke atas. Oleh karena itu ekspresi tersebut diartikan bumi dan surga. Dr. Rahbar selanjutnya berkata bahwa ia telah menemukan satu atau beberapa ayat dalam Al-Badiawi yang mengartikan surga dan bumi (kata surga diletakkan di depan kata bumi). Di sini nampak jelas bahwa Baidawi tidak konsisten.

Dalam kata pengantar bukunya, Dr. Rahbar menyatakan dirinya merupakan orang muslimin pertama yang melakukan pengkajian semacam ini. Selanjutnya dia (Rahbar) mengatakan, untuk melakukan pengkajian ayat-ayat Kitab Suci berdasarkan konteks seutuhnya tidaklah gambang karena diperlukan dana yang tidak sedikit untuk memperoleh data yang lengkap. Apalah artinya kutipan satu atau beberapa ayat-ayat Kitab Suci bila didalamnya terdapat 300 ayat-ayat yang membahas masalah serupa.

Rahbar menggunakan "The Holy Quran" terjemahan Abdullah Yusuf sebagai langkah awal dalam pengkajian ini. Kitab berikut juga dipakainya sebagai sumber acuan pembanding: Kitab Suci Al-Quran edisi bahasa Perancis terjemahan Muhammad Hamidullah, Kitab Suci Al-Quran edisi bahasa Inggris terjemahan Muhammad Pickthall. Dia menggunakan kitab suci tersebut di atas karena lebih mendekati Kitab Suci Al-Quran aslinya dibandingkan misalnya kitab suci terjemahan Masson.

Disamping hal tersebut di atas, perlu saya sebutkan disini bahwa ada beberapa ayat yang menggunakan istilah-istilah bahasa Arab dan oleh karenanya saya berikan terjemahan secara harafiah dalam Bahasa Inggris supaya pembaca yang tak menguasai bahasa Inggris bisa mengikuti.

Kita akan mulai dengan ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan (menyinggung) kitab Taurat pada masa hidup Isa, dan kemudian sejarah ayat-ayat serupa yang membicarakan kitab Taurat dan Injil pada masa hidup nabi Muhamad. Akhirnya kita akan mengkaji ayat-ayat yang secara khusus mengacu pada tuduhan tahrif (perubahan).

Sekarang, setelah saya paparkan panjang lebar tentang pengajian ayat-ayat Kitab Suci termaktub di atas, berikut ini adalah pandangan Al-Quran terhadap Alkitab.

 

A. Ayat-ayat yang menunjukkan kebenaran Taurat pada masa hidup Isa.

A.1. Maryam 19:12 Mekka Pertengahan, - 7alhijriah

Allah berkata, "Yahya pembaptis, perliharalah kitab tersebut dengan suka cita, dan kami beri dia kebijakan seperti anak domba."

A.2. Ali Imran 3:48, 2-3 aljijriah

Malaikat Gibril berbicara kepada Maryam tentang Isa sebelum ia lahir dan berkata: "Allah mengajarnya Kitab Suci dan Kebijakan, Taurat dan Injil."

A.3. Al-Tahrim 66:12, 7 alhijriah

"dan Maryam percaya pada Kalam Allah dan Kitab Sucinya"

A.4. Ali Imran 3:49-50, 2- 3 alhijriah

"Isa berkata, "Saya telah datang kepadamu menguji kebenaran antara tanganKu dan Taurat, dan memberikan peraturan bagi sebagian ayat-ayat yang terlarang bagimu."

A.5. Al-Saff 61:6,3 alhijriah

"Dan ingatlah, Isa anak Maryam, berkata: "Hai anak Bani Israil" Akulah rasul utusan Allah bagimu, menegaskan perbedaan antara tanganku dan Taurat."

A.6. "Dan dalam jejak Musa dan Yahudi, kirim Isa anak Maryam, untuk menguji kebenaran Taurat yang ada diantara tangannya dan kami beri dia Kitab Suci yang didalamnya terdapat bimbingan dan keagungan Allah yang maha besar."

A.7. "Kemudian Allah berkata: Isa anak Maryam ingat pertolonganku kepadamu dan kepada ibunya saat saya menguatkanmu dengan Kitab Suci sehingga kamu berbicara dalam bahasa kanak-kanak dan dalam bahasa orang dewasa. Berhati-hatilah. Saya ajari kamu Kitab Suci dan Kebijakan Taurat (Taurat) dan Injil.

Menurut ayat-ayat suci tersebut di atas yang diturunkan dari wahyu terakhir 10 alhijriah, Yahya diperintahkan untuk menyimpan dan menjaga Kitab Suci tersebut (Al); Maryam ibu Isa percaya terhadap kitabullah (A3); Allah menjanjikan sebelum Isa dilahirkan untuk mengajarinya kitab Taurat (A2); Isa berkata bahwa Injilnya menguji kebenaran Taurat yang ada pada tangannya." (A4, A5).

Dari ayat-ayat tersebut di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Kitab Taurat tak berubah dan benar memang ada kebenarannya pada masa hidup Isa.

Karena Surat Al-Tahrim dari 7 alhijriah di atas menyatakan bahwa Maryam percaya pada Kutubiki (Kitabullah), ini pasti berarti Kitab-Kitab yang dibawa nabi-nabi lain dan diberikan kepada orang Yahudi, termasuk Taurat (Taurat) nabi Musa.
 

B. Ayat-ayat yang menunjukkan umat Kristen yang hidup pada masa antara Isa dan Nabi Muhamad.

B1. Al-Maida 5:113-114, dari 10 alhijriah

Kemudian Allah berkata, "Isa, anak Maryam, ingat Pertolonganku padamu … Hati-hatilah saya ajari kamu Kitab Suci dan Kebijakan, Taurat dan Injil.

"Dan waspadalah, Saya anjurkan para murid untuk percaya padaKu dan Isa. Mereka berkata pada Isa, "kami beriman dan kamu harus bersaksi bahwa kami muslimin yang taat."

B2. Ali-Imran 3:53-53, dari 2-3 alhijriah

Ketika Isa tak percaya mereka berkata, "Siapa akan menjadi pelayanku melayani Allah? Para murid berkata, 'Kami percaya Allah dan kami harus bersaksi bahwa kami muslimin yang taat..' Allah, kami percaya terhadap apa yang kau wahyukan dan kami menyebut Rasul Isa."

B3. As-Saff 61:14, dari 3 alhijriah

"Kamu yang percaya, jadilah pengikut Allah" kata Isa anak Maryam kepada murid-muridnya, "Siapa akan menjadi pelayan Allah?" Murid-murid Isa berkata, "Kami pelayan Allah" kemudian sebagian anak bani Israil percaya dan sebagian lainnya tidak percaya. Kami beri kekuatan bagi mereka yang percaya, mereka akan menang melawan musuh-musuhnya.

B4. Al-Hadid 57:26-27 dari 8 alhijriah

"Dan kami kirim Nuh dan Abraham menggenapi nubuat kepada turunan mereka dan Kitab Suci: ada yang taat dan banyak yang membelot. "Kemudian kami kirimkan rasul kepada mereka dan kami kirimkan Isa anak Maryam dan memberkati Injilnya dan kami memuji mereka yang menjadi pengikutnya dengan rasa sabar dan belas kasihan; dan kemudian mereka mendirikan bicara. Kami tak memerintahkannya, namun kami memberkati mereka yang percaya, memberi ganjaran kepadanya. Namun banyak diantara mereka yang membelot.."

Kita tahu dari ayat-ayat di atas bahwa yang bicara bukanlah Allah, namun bila mereka menjadi pengikut Isa yang taat, maka mereka akan menerima ganjaran masuk surga.

Biara telah lahir pada abad ke 4, walaupun pada abad ke 3 terdapat orang-orang tertentu sepertinya Paulus yang hidup menyendiri sebagai pertapa. Santa Antoni adalah orang pertama yang memimpin sekelompok umat Katolik pada 305 AD, dan di Sinai, juga para biara (Pengikut Santa) memulai kegiatannya pada saat yang sama.

B5. Al-Kahf 18:10, 25 Mekkah

"Waspadalah pemuda, pergilah ke gua. Mereka berkata," Allah" berikan kami belas kasihan dan lepaskan kami dari permasalahan kami dengan petunjuk di dalam gua selama 300 tahun dan ada yang tambah 9 tahun lagi."

Yusuf Ali dalam beberapa catatan terjemahan Kitab Al-Quran mengacu pada perkara di atas pada 7 pemuda dari Efesus yang melarikan diri dari pengejaran dan bersembunyi di dalam gua serta tinggal di dalamnya selama 300 tahun. Menurutnya tahun kejadian tersebut antara 440 – 450 AD dan dia (Yusuf Ali) mengatakan bahwa Khalifa Wathiq (842 – 846) mengirimkan ekspedisi guna memeriksa lokasi kejadian.

Hamidullah mengaku adanya kemungkinan kejadian diatas, namun ragu ayat-ayat tersebut sudah ada/diturunkan sebelum lahirnya ajaran Kristen. Namun menurut Taufiq Al-Hakim dalam Akil Al-Kahf mereka adalah umat Kristiani.

B6. Al-Buruf 85:4-9 Mekkah Awal

"Celakalah bagi pembuat api unggun karena api akan berkobar bila diberi minyak. Waspadalah, mereka duduk membelakanginya (api unggun) dan mereka tahu semua menentang pengikut Isa. Mereka mencela dengan tanpa alasan, mereka tak mau percaya kepada dia …"

Menurut Hamidullah yang dimaksudkan dengan kejadian tersebut di atas adalah Raja Yahudi, yaitu, Dhon Nuwass yang pada abad ke 6 pernah menganiaya orang-orang Kristen dan membakar mereka hidup-hidup kalau tak masuk agama Yahudi. Kalifah Omar mendirikan Mesjid besar di Yaman untuk menghormati orang-orang Kristen tersebut. Yusuf Ali juga telah mengatakan demikian.

Ketiga referensi ayat-ayat tersebut di atas jelas menyebut pengikut Isa sebagai pelayan Allah melalui Dia (Al-Masih) (B2.B3) serta merupakan orang yang dimenangkan. Di samping itu ada beberapa pengikutnya (Santa Agustinus) yang tetap setia terhadapnya hingga ada ajaran Katolik yang mulai hidup pada abad ke 4, yaitu di Mesir.

B5 dan B6 dipahami oleh Muhamad dan penduduk Mekkah sebagai umat Kristen berdasarkan konteks sejarah, maka pernyataan dalam Al-Quran bahwa mereka umat Kristen diterima olehNya di Efesus pada 450 AD; dan di Yaman pada abad ke 6 dimana banyak tokoh umat Kristen mati dibakar hidup-hidup.

Ayat-ayat tersebut di atas memang tak menyinggung doktrin Kristen sama sekali, namun pengikut Isa yang setia di Efesus (Turki sekarang) dan Yaman telah meninggallkan kepada kami beberapa kitab suci dan tulisan-tulisan mengenai ajaran-ajaran Isa.

Bila kitab suci mereka berbeda dari kitab Taurat dan injil yang kita kenal sekarang, maka perbedaan tersebut bisa ditelusuri jejaknya.

 

C. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Taurat dan Injil adalah benar dan tak berubah pada saat nabi Muhamad hidup.

C1. Saba 34:31 Mekkah, Awal.

"Dan para Kafir berkata, "Kami tak akan percaya pada Al-Quran ataupun pada perbedaan yang terdapat dalam Taurat dan Injil."

Catatan: Kata kerja dalam teks bahasa Inggrisnya ditulis dengan huruf besar untuk mengacu perkara pada saat/masa hidup Nabi Muhamad. Sedangkan frasa kalimat yang membicarakan kaum Yahudi atau umat Kristen ditulis dalam huruf cetak miring.

C2. Fatir 35:31, Mekkah Awal

"Yang telah kami wahyukan kepadamu dalam Kitab Suci adalah kebenaran untuk menguji perbedaan yang terdapat antara kitab Taurat dan Injil."

C3. Yunus 10:37 Mekkah Akhir

"Al-Quran bukanlah cerita buatan, namun merupakan pembenaran Kitab Taurat dan Injil, berisikan penjelasan yang lengkap serta petunjuk dan belas kasih kepada umat yang percaya terhadap isi kandungannya."

C5. Al-Anam 6:154-157 Mekkah Akhir

"Kemudian kami beri Musa sebuah Kitab Lengkap dan didalamnya terkandung semua petunjuk dan belas kasih bagi mereka (umat) yang percaya". Dan Al-Quran Karim ini merupakan Kitabullah yang telah kami wahyukan dan oleh karena itu ikuti dan amalkan dengan taat segala petunjuk dan belas kasih yang termaktub di dalamnya.

Jangan sekali-kali katakan:

'Kitab ini (Al-Quran) diturunkan kepada manusia sebelum kita lahir karena kami tetap tak kenal dengan mereka yang mempelajarinya dengan tekun, dan jangan katakan bahwa Taurat dan Injil telah diturunkan kepada kita; bahwa kita seharusnya mengikutinya (segala petunjuk dan belas kasih yang terkandung di dalamnya) dengan lebih baik.'"

C6. Al-Mumin 40:69-70 Mekkah Akhir

"Apakah dia (Muhammad) tak melihat umatnya mempertengkarkan kitabullah? Bagaimana kitab-kitabullah telah dibelokkan? Umat yang tak rela menerima kitabullah yang kami kirim lewat Rosullulah, maka mereka akan celaka."

C7. Al-Ahqaf 46:12; Mekkah Akhir

"Dan sebelum Al-Quran diturunkan, sudah terdapat kitabullah lain, yaitu kitabullah buatan Musa yang dipakai sebagai petunjuk dan belas kasih. Kitab ini merupakan pembenaran terhadap kitab Taurat dan ditulis dalam bahasa Arab untuk memperingatkan umat yang melanggar dan sebagai pedoman bagi umat yang benar."

C8. 46:29-30

"Waspadalah, kami berpaling kepadamu, segerombolan Jin mendengarkan Al-Quran dan setelah selesai dibacakan, mereka kembali kepada manusia sebagi pemberi peringatan. Mereka berkata," manusia kami telah dengar tentang Kitabullah yang diturunkan setelah Musa, untuk memberi petunjuk kebenaran dan jalan menuju yang benar."

C9. Al-Baqara 2:91 dari 2 alhijriah

"Ketika Kitabullah tersebut dibacakan kepada umat, percayalah pada apa yang Dia (Allah) telah turunkan dan katakanlah mereka percaya terhadap apa yang diturunkan kepada mereka, namun umat menolaknya walaupun didalamnya terkandung kebenaran."

C10. Al-Omran 3:3, 2-3 alhijriah

"Allah sendiri yang menurunkan Kitab kebenaran, untuk membenarkan kebenaran yang terkandung dalam Alkitab dan ia menurunkan Taurat dan Injil sebelumnya sebagai petunjuk bagai umat manusia."

C11. Al-Nisa (Wanita) 4:162-163, dari 5-6 alhijriah

"Namun Yahudi yang berpengetahuan dangkal, dan para umat, percayalah pada segala yang telah diwahyukan kepadanya (Muhamad) dan yang telah diwahyukan sebelumnya. Kami telah menurunkan wahyu, seperti telah kami turunkan kepada Abraham, Ismail, Iskah, Yakob, Ayub, Yonah, Aron dan Salomon, dan kepada Daud kami berikan Mazmur .

C12. Al-Tauba 9:111, 9 alhijriah

"Allah membeli umatnya beserta harta miliknya, dan sebagai ganti mereka mendapatkan Taman Eden bila mereka mau berjuang/berperang atas nama Allah baik menang maupun kalah. Janji Allah benar adanya dalam kitab Taurat dan dalam Injil maupun dalam Al-Quran, dan tak ada yang lebih setia dalam janjinya dari pada dia (Allah) sendiri."

C13. Al-Maida 5:51,10 alhijriah

"Kepada dia (Muhamad) kami wahyukan Alkitab kebenaran, untuk membuktikan kebenaran yang terdapat dalam Alkitab, yaitu kitab Taurat dan Injil dan segenap wahyu yang terkandung di dalamnya."

Dari ayat-ayat suci tersebut di atas kita peroleh keterangan bahwa kitab Taurat dan Injil dinyatakan kebenarannya sebagai sumber firman Allah yang memang ada dan hidup digunakan oleh umat percaya pada masa hidup nabi Muhamad .

Al-Quran ul-karim merupakan pembenaran terhadap Alkitab Musa yang ditulis dalam bahasa Arab (C7) dan ini penting karena penghuni Mekkah tak paham terhadap kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya yang ditulis dalam bahasa lain (Ibrani dan Yahudi). Seandaianya kitabullah-kitabullah tadi ditulis dalam bahasa Arab, mungkin penghuni Kabah sudah menjadi pengikutnya. Lebih lanjut, Quran adalah merupakan penjelasan terhadap Taurat dan Injil yang didalamnya tak ada keraguan lagi (C3) dan tetap terjaga kebenarannya (C13).

Penduduk Mekkah berkata, "Kami tak percaya pada Al-Quran, ataupun terhadap isi dan segala petunjuk serta belas kasih yang terkandung dalam Kitab Taurat/Torah dan Injil (C1). Sebagian Yahudi Mekkah berkata mereka hanya percaya pada apa yang diwahyukan kepada mereka walau kebenarannya telah dinyatakan di dalam Al-Quran (C9).

Umat yang menentang Al-Quran dan Kitab-Kitab yang diturunkan sebelumnya akan diadili dihadapan Allah. Namun Yahudi yang dangkal ilmu pengetahuannya percaya terhadap semua yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad S.A.W dan juga terhadap kitab Taurat yang diturunkan sebelum dia (Muhamad) dan para jin juga percaya pada Al-Quran dan Kitab Taurat (C8).

Dalam Surat Al-Tauba, dinyatakan bahwa janji-janji Allah benar adanya dalam Taurat, Injil dan Al-Quran (C12).

Akhirnya perlu diterangkan di sini tentang arti ekspresi "between his hands" yang dijumpai dalam ayat-ayat berikut C2, C3, C4, C8, C10, C13 dan A5, A6 di atas. Saya sengaja menggunakan terjemahan harafiah untuk memberikan makna apa adanya. Namun ungkapan tadi "between his hands" yang secara harafiah berarti di antara tangannya, kadang-kadang juga dipakai dalam arti kiasan, yaitu "dalam kehadirannya, dalam pemilikannya dan atas perintah pembuangan oleh Dia (Allah)."

Sebagai contoh, kita ambil ungkapan berikut "Kalau Allah ada di antara tanganmu" artinya "Kamu punya hadirin" atau "kamu bisa bicara sekarang." Contoh lain, "tak ada senjata diantara tangannya" misalnya memiliki arti "ia tak bersenjata" Surat 34:12 berbicara tentang Salomon dan Jin parahiyangan yang bekerja diantara tangannya (harafiah). Dalam terjemahan Yusuf Ali ayat tadi berbunyi "bekerja dihadapannya"; namun dalam teks lain diartikan "Jin parahiyangan bekerja di bawah matanya."

Tujuan ayat-ayat suci Al-Quran tersebut oleh karenanya ialah untuk menegaskan dan membuktikan, serta membenarkan isi dan semua kandungan beserta petunjuk dan belas kasih yang terkandung di dalam kitab Taurat dan Injil yang ada atau didepan matanya (harafiah). Hal tersebut juga diakuinya oleh dia (Muhammad).
 
D. Ayat-ayat suci Al-Quran yang didalamnya berisikan suruhan dan anjuran nabi untuk membaca dan mengamalkan isi kandungan beserta segala petunjuk dan belas kasih yang terdapat dalam kitab Taurat dan Kitab Injil.

D1. Najam 53:33-38, Mekkah Awal

"Apakah dia (Muhammad) melihat umatnya yang balik? Beri dia (umat) pelajaran sedikit dan kemudian keraskan hatinya dan hukum supaya tahu dan sadar. Dia tak tahu bahwa tak ada wazira yang mampu mengurangi sebagian beban atau seluruhnya yang ditanggung wazira lain.

D2. Al-Shuara (Penyair) 26; 192-197, Mekkah Pertengahan

"Sungguh ini adalah wahyu dari dia (Pengatur Dunia) Roh Imani turun masuk ke hatimu sehingga kamu mampu menjadi pemberi peringatan dalam bahasa Arab sederhana. Dan sungguh ini merupakan Alkitab dari orang-orang terdahulu. Namun ini bukan pertanda bahwa para ahli Taurat Bani Israil tahu."

D3. Thaasha 20:1,3 Mekkah Pertengahan dari –7 alhijriah

"Penduduk Mekkah berkata, "Mengapa dia (nabi) tak memberi pertanda dari Dia (Allah)?" Apa? Belumkah kamu tahu bahwa pertanda jelas telah datang diturunkan kepada penduduk Mekkah dalam al-suhuf al-sulla (ayat-ayat pada halaman sebelumnya).

D4. Al-Anbiya (Nabi) 21:7, Mekkah Pertengahan

"Dan sebelumnya (Nabi Muhamad), kami kirimkan tak seorang pun kecuali dia (Musa) yang kepadanya kami beri wahyu. Bertanyalah kepada nabi lain bila kamu masih tetap tak mengerti."

D5. Al-Anbiya 21:105, Mekkah Pertengahan

"Sebelumnya kami telah tuliskan dalam Mazmur nabi Daud tentang Kalam Allah yang diwahyukan kepada dia (Musa), pelayanku umat yang benar, dia pasti akan mewarisi dunia."

Ini merupakan kutipan langsung dari Mazmur 37:29 yang berbunyi, "Yang benar akan mewarisi dunia dan tinggal disana selamanya." Bila dibandingkan dengan kutipan sebelumnya dari surat yang sama (21:7), jelas bahwa menurut Al-Quran, Dia (Allah) telah mengutip dari Mazmur nabi Daud pada masa hidup nabi Muhammad.

D6. Al-Zukhruf 43:44-45 Mekkah Akhir

"Al-Quran sungguh berupa Kalam Allah yang diwahyukan kepada dia (nabi Muhamad) dan kepada segenap umatnya lewat dia (nabi). Tanyalah kepada nabi atau rosulllulah yang dikirim sebelum dia (nabi) "Apakah dia (nabi) mengangkat ilah lain selain Dia (Allah).

(Bersambung)
_____________________________________________________________________________________________
Indeks Utama